Rosie
“Oh, hai, Rosie? Bagaimana sekolah?”
tanya Mom. Ia masih mengenakan blazer. Sepertinya ia juga baru saja tiba di
rumah. Aku meletakkan tasku dan duduk di depannya. Mom tidak terlihat seperti
biasanya. Aku menyipit dan memandangnya aneh.
“Tumben Mom pulang lebih awal? Ada
masalah di klinik?” tanyaku, masih menyipit. Mom tidak biasanya pulang lebih
awal seperti ini. Mom seorang psikiater. Di tengah-tengah dunia yang menggila
seperti, Mom pasti selalu dicari-cari oleh orang yang mengalami kegilaan. Apalagi
Mom satu-satunya psikiater di kota sekecil Johnston ini. Jadwal temu Mom
biasanya penuh hingga pukul lima sore, dan Mom baru sampai di rumah pukul enam.
Bukan suatu hal yang jarang aku menikmati makan malam sendirian. Aku tak pernah
mengeluh, sungguh. Pekerjaan Mom-lah yang membuat keluarga kami mampu membayar
tagihan-tagihan itu, well, semenjak
Dad, well, dibunuh.
“Tidak, hari ini aku memang sengaja
mengosongkan jadwal agar bisa pulang lebih awal. Sudah lama aku tidak makan
malam bersama kalian berdua.”
“Mana Oliver?” tanyaku.
“Oh, dia di kamar. Entah apa yang ia
lakukan di sana.” Mom tersenyum kecil. Mata kelabunya berkilat-kilat, tampak
serasi dengan rambut gelapnya yang mulai diselimuti warna kelabu. Mom mungkin
tidak secantik dulu, tapi aku masih bisa melihat sisa-sisa wajahnya yang
menarik di balik kerutan di wajahnya. Bekerja keras demi Oliver dan aku sudah
pasti sangat melelahkan, membuat Mom terlihat lebih tua; satu hal yang tak
pantas ia dapatkan.
Kami berdua tidak berbicara. Hening.
Aku mengamati cahaya menyilaukan dari lampu meja makan yang tergantung. Meski
demikian, aku masih bisa merasakan Mom menatapku.
“Kau tahu,” kataku, menurunkan
pandangan agar mampu memandang Mom balik.
Mom menggigit bibirnya.
“Kau tahu, tetapi kau tidak
memberitahukannya padaku.”
Mom menghela napasnya.
“Maafkan aku, Rosie. Sungguh. Aku
sudah berusaha menolak agar Alex tak diizinkan untuk kembali ke sekolah umum di
pertemuan orang tua dan guru, tetapi mereka semua orang baru di sini. Mereka
tidak tahu kekejaman apa yang mampu dilakukan si bajingan kecil—maaf. Mereka tidak tahu, Rosie.” Pada kalimat ini, Mom
mulai berkaca-kaca. “Hingga akhirnya Lisa memohon-mohon padaku agar mengizinkan
Alex sekolah sambil menangis. Aku tak tega melihatnya seperti itu. Lisa masih
teman baikku, dan kejadiannya sudah sepuluh tahun yang lalu. Aku merasa kita
harus memberikan anak itu kesempatan kedua dan mulai belajar memaafkannya.”
Aku terdiam sambil menggigit bibir,
sebuah kebiasaan yang kuwarisi dari Mom ketika sedang gugup atau marah.
“Tapi, Mom, kau tidak memberitahukan
apa-apa! Aku baru tahu Alex kembali ke sekolah pagi tadi, sama terkejutnya
dengan orang lain.”
“Maafkan aku, Rosie. Aku takut kau
ketakutan dan tak mau ke sekolah. Aku tahu kau yang melihat kejadiannya, dan
seharusnya aku memang memberitahumu agar kau lebih siap.”
Aku berdiri dan mengambil gelas dari
dapur dan mengisinya dengan air di wastafel.
“Sudahlah, lupakan saja, Mom.” Aku
kembali berhadapan dengan Mom. “Aku tak mungkin menghindarinya terus-terusan.
Kami memiliki beberapa kelas yang sama.”
Aku memutuskan untuk tidak
mengatakan bahwa aku berbicara pada Alex pada hari ini. Mom akan lebih ketakutan
jika mengetahuinya. Lagi pula, sepertinya Mom sendiri yang lebih takut pada
Alex dibandingkan dengan diriku sendiri. Jujur saja, aku sendiri merasa
terkejut saat aku berbicara dengannya tadi siang sebelum kelas Bahasa Inggris.
Ada sesuatu hal yang ingin kutanyakan padanya, soal kejadian sepuluh tahun yang
lalu, apa yang sebenarnya terjadi. Sebelum Alex muncul, aku tak pernah terlalu
memikirkan kejadian itu. Mom menginginkan aku untuk melanjutkan hidup dan tak
menoleh ke belakang. Kehadiran Alex membuat kenanganku kembali ke umur delapan
tahun. Sesuatu menggangguku dan aku harus berbicara padanya. Namun,
keberanianku tak cukup. Menyapanya saja sudah menghabiskan keberanian yang
sudah kukumpulkan.
“Aku bisa menghubungi beberapa
gurumu di sekolah jika kau merasa terganggu.”
“Tak perlu. Kau sendiri yang bilang
bahwa Alex pantas mendapatkan kesempatan kedua. Semuanya akan baik-baik saja,” ujarku
meyakinkan. Aku berdiri dan menjinjing ranselku. “Aku akan menaruh tasku ke
dalam kamar lalu turun dan membantu Mom menyiapkan makan malam. Oke?”
Mom terlihat tak yakin.
“Kau yakin?”
“Tentu, Mom. Lagi pula, apa, sih,
yang mungkin terjadi? Alex pasti sudah berubah. Kejadian sepuluh tahun yang
lalu tak akan terjadi lagi,” ucapku sambil tersenyum kecut. Aku menaiki tangga
menuju kamarku. Mom masih melihatku hingga akhirnya aku tak kelihatan lagi dari
pandangannya.
Sejujurnya aku tak yakin dengan
ucapanku sendiri.
No comments:
Post a Comment