BAB 1
SORROW
Don't leave my hyper heart
alone on the water
Cover me in rag and bone
sympathy
Cause I don’t wanna get over
you
The National — “Sorrow”
* * *
Dear Amanda,
Aku akan mengambil
barang-barangku dari apartemenmu dan membawa barang-barangmu dari apartemenku.
Aku juga akan mengembalikan kunci apartemen dan kunci mobilmu. Terima kasih
untuk semua kebaikan yang sudah kauberikan. Sayang sekali hubungan ini tak akan
berhasil.
Regan
P.S.: Aku akan menitipkan kunci
apartemen dan mobilmu ke satpam apartemenmu. Aku harus sudah siap untuk
berangkat ke Bali pukul empat sore nanti untuk meliput Svanati. Belum lagi aku
harus mengambil mobilku dari bengkel. Ponselku mati, jadi aku cuma bisa
menghubungi lewat Post-It-Note. Sekali lagi terima kasih.
Aku membaca catatan Post-It-Note dengan tulisan tegak
bersambung yang luar biasa rapinya itu berulang kali. Seperti yang diharapkan
dari seorang Regan Andriawan Sanjaya yang meraih nilai sempurna di pelajaran
bahasa Indonesia pada seleksi penerimaan mahasiswa baru Universitas
Indonesia—apa itu mungkin? Mendapatkan nilai sempurna di pelajaran bahasa
Indonesia, maksudku? Kupikir Regan hanya mengada-ada waktu menceritakannya
padaku—tulisan Regan begitu baku dan kaku seperti lap mobil yang kering. Aku
menatap kertas Post-It-Note itu sambil mengedip-ngedip tak percaya. Seharusnya
aku marah dan merobek-robek kertas mungil berwarna biru itu.
Lantas kenapa aku merasa hampa melihat tulisan tangan
Regan itu?
Oh, benar. Ia memutuskanku semalam dan sampai sekarang
aku tidak mengerti apa alasannya. Ia hanya muncul di apartemenku pada pukul
sepuluh dan berkata sesuatu seperti
Manda-kurasa-hubungan-kita-tidak-akan-berhasil atau sesuatu semacam itu dan
tepat pada pukul sepuluh lewat tujuh menit, aku resmi menjadi seorang wanita single. Dan Regan pergi meninggalkan
apartemenku begitu saja tanpa ada kejelasan lebih lanjut.
Apakah aku merasa sedih?
Tentu saja tidak. Aku bukan seorang wanita yang dramatis
dan perasa. Seharusnya aku mengabaikan kertas Post-It-Note itu dan duduk di
meja kerjaku, membuka komputer dan software
Illustrator lalu mulai memperbaiki image
layout untuk majalah The Doppler
edisi bulan depan sebelum Fabian, si art
director, berteriak-teriak seperti kucing yang terjepit pintu.
Namun, hal yang kusadari berikutnya adalah aku sedang
berlari ke toilet dan menutupi wajahku dengan telapak tangan, bersembunyi di
salah satu biliknya sambil berharap diriku terisap ke dalam lubang toilet dan
terbawa ke Shangri-La. Atau Xanadu. Atau apalah.
Aku tidak sadar berapa lama aku terisak di dalam bilik
toilet hingga aku mendengar suara ketukan. Seseorang mengetuk bilik toiletku.
Telapak tanganku berlumuran maskara dan wajahku pasti tampak mengerikan. Aku
memutuskan untuk mengabaikan ketukan itu dan melanjutkan sesenggukanku.
“Man?” panggil seseorang
itu. Seorang wanita. Uh, tentu saja. Aku tak mungkin berharap akan ada pria
yang menyelundup ke dalam toilet wanita, sekalipun itu seorang Regan yang
berlutut untuk meminta balikan padaku. Mengingat nama Regan sukses membuatku
terisak lagi.
“Man, buka pintunya,
dong!” Ia mengetuk pintu bilik toilet sedikit lebih keras begitu tidak
mendengar jawaban apa pun selain isak tangisku yang menyedihkan.
Suara wanita itu terasa
tidak asing.
“Far?” balasku dengan
suara serak. Tanpa sadar aku mengusap wajahku dengan tangan. Oh, baguslah!
Wajahku pasti cemong-cemong seperti seorang tentara sekarang.
“Man,” kata Fara,
sahabatku di kantor majalah-musik-neraka dan satu-satunya orang yang membuatku
bertahan di tempat ini, selain Regan. Sebelum putus denganku. “Keluar, dong! Lo enggak perlu sedih karena
cowok berengsek macam Regan. Ya ampun! Tuh cowok enggak ada bagus-bagusnya.
Kaku banget. Bahasanya sebaku buku angkatan Balai Pustaka. Lo mau nikah sama
orang yang ngomongnya kayak Datuk Maringgih? Enggak, kan? Jadi, angkat dagu lo
dan bukain pintunya, dong, Man!”
Sambil terhuyung, aku
berdiri dari dudukan toilet dan menggeser selot bilik toilet dengan lemas.
Seorang wanita langsing, yang ukuran bajunya beberapa puluh nomor di bawahku,
dengan rambut sepunggungnya yang badai hasil ritual khusyuk semenjak subuh, menatapku
dengan pandangan iba.
Ia langsung memelukku
erat-erat dan menepuk punggungku dengan lembut seakan-akan aku baru menang
lomba siswa teladan dan dia adalah guru pembimbingku.
“Lo harusnya enggak perlu
semerana ini, Man,” katanya. Ia masih memelukku dengan sangat erat, sedikit membuat perasaanku menjadi lebih
baik. “Lo bisa nyari cowok lain yang lebih seru dan asyik dan fleksibel dan
enggak kaku kayak Regan. Ya ampun! Sekali lagi dia ceramah soal ‘merubah’ atau
‘mengubah’ gue bakalan loncat indah dari gedung ini. Lo pokoknya harus cari
cowok yang lain.”
Aku mendongak dan
menatapnya tak percaya.
“Ya, lo enggak tahu aja
rasanya gimana, Far,” sahutku di sela-sela isakku. “Lo kan udah punya tunangan.
Sempurna lagi tunangan lo.”
Fara menghela napas. Aku
sanggup merasakan napasnya yang hangat di belakang leherku, membuatku sedikit
bergidik.
“Ya, bener, sih, Man,”
ujarnya. “Tapi enggak ada kok yang namanya tunangan sempurna. Kresna ngoroknya
luar biasa kenceng sampai bisa bikin orang mati bangkit lagi. Gue enggak tahu
apa semua arsitek emang suka ngorok, tapi bukan itu poinnya. Lo harusnya
berdiri tegak dan gagah berani dan menganggap Regan itu cowok bego karena
mutusin lo. Lo mesti bisa ngebuktiin kalo lo bukan cewek yang lemah, lo bisa
melanjutkan hidup tanpa Regan. Kalau begini, lo sama aja ngaku kalau Regan
menang.”
Mudah saja buat Fara
berbicara seperti itu. Ia sudah punya seorang tunangan. Dan seandainya Kresna
memutuskannya, Fara akan segera mudah mendapatkan penggantinya. Ukuran bajunya
saja lebih kecil dariku. Dan wajahnya luar biasa cantik, blasteran Arab dan
Padang.
Aku sendiri tidak mengerti
kenapa aku bisa sesedih. Maksudku, Regan juga bukan pacar pertamaku dan bukan
satu-satunya pria di dunia ini. Memang ia lumayan ganteng untuk ukuran pria
culun berkacamata, seperti Clark Kent sebelum menjadi Superman. Apalagi
keduanya sama-sama bekerja di bidang media. Analogi yang, yah, klise.
Namun, aku sudah sejak
lama selalu menganggap Regan adalah “the
one”, seseorang yang kelak akan menjadi ayah dari anak-anakku.
Ternyata kenyataan memang
terasa pahit.
Dan tanpa terasa aku
meneteskan air mata lagi, membenamkan kepala ke bahu Fara. Ia kembali
mengusap-usap punggungku dengan lembut.
“Ya udah, mending lo keluarin
semuanya sekarang ini. Tapi lo mesti janji begitu semua drama ini kelar, lo
enggak boleh kayak gini lagi. Ayo, dong! Lo Cuma menyia-nyiakan waktu lo buat
menangisi cowok yang udah enggak cinta lagi sama lo.”
Bisa kurasakan daguku
mengangguk meskipun sebenarnya lubuk hatiku tidak ingin mengangguk. Tak mungkin
ada pria selain Regan yang mau denganku, seorang wanita yang wajahnya
berlumuran lunturan maskara.
“Gue traktir lo Starbucks,
deh, waktu makan siang entar.”
“Lo baik banget, Far,”
balasku terbata-bata.
“Layout lo udah kelar, kan?” tanya Fara tiba-tiba. “Tadi Fabian udah
teriak-teriak kayak kucing kejepit pintu di luar.”
Aku melepaskan diri dari
pelukannya. Sambil menelan ludah, sebuah ingatan mengenai revisi layout majalah melayang di dalam
kepalaku.
Sial. Tidak bisakah Regan
memutuskanku waktu hari Jumat saja agar aku tak perlu bekerja keesokan harinya?
* * *
Regan dan aku pertama kali bertemu saat aku mulai bekerja di The Doppler,
sebuah majalah musik yang cukup populer di negeri ini, tiga tahun yang lalu.
The Doppler menyajikan berita musik dan mengulas musisi dalam dan luar negeri
yang belum terkenal alias hipster dan
hebatnya, The Doppler memiliki angka penjualan yang cukup memuaskan di
Indonesia.
Selepas lulus dari kuliah
desain komunikasi visual, Fara yang lebih dahulu bekerja di sini menyuruhku
untuk melamar pekerjaan sebagai graphic
designer. Aku hanya mencoba-coba saja, tetapi ternyata langsung diterima.
Ini sebenarnya pekerjaan yang menyenangkan buatku. Aku suka musik; aku juga
suka mendesain. Saat itu, Regan dan aku hanya berkenalan sekilas waktu aku
bertemu dengan pegawai yang lain. Regan baru menjadi asisten editor saat itu.
Jujur saja, awalnya aku
tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan pada Regan. Aku justru tergila-gila
dengan Andre, sang fotografer yang andal. Senyumnya begitu menawan dan tubuhnya
yang tinggi, aku bisa berharap ia bisa memperbaiki gen pendek yang kumiliki
suatu saat nanti.
Itu sebelum aku tahu Andre
seorang gay. Harusnya aku tahu.
Rambutnya saja sekinclong gelas kristal. Dan itu juga menjelaskan kenapa Fara
terkikik-kikik gembira sewaktu aku bercerita padanya kalau aku naksir Andre.
Apakah memiliki seorang-pacar-tampan-yang-hetero adalah hal terlarang di negeri
ini? Kenapa para gay selalu mengambil
stok terbaik pria-pria di Indonesia?
“Lagi pula, siapa yang
butuh cowok, sih, Man?” kata Fara saat itu, masih terekam perkataannya tiga
tahun yang lalu dengan sangat jelas di pikiranku—yang
membuatku heran sanggup mengingat kejadian tiga
tahun yang lalu, sementara aku lupa apa password
e-mail yang baru kuganti seminggu
yang lalu. “Lihat aja gue sekarang. Single dan bahagia. Mandiri dan berkelas.”
Yang kuketahui kemudian
adalah ia berpacaran dengan Kresna, seorang arsitek muda, tampan, berambut
hitam pekat dari Bandung, setahun kemudian. Tahun lalu mereka baru bertunangan
dan akan menikah akhir tahun nanti di Bandung. Bicara soal wanita mandiri dan
berkelas.
“Gue ralat omongan gue,
Man. Kita butuh cowok buat beli tas Louis Vuitton yang lucu-lucu itu,”
sanggahnya sehabis aku menggodanya, tak lama setelah Kresna melamarnya. Pipinya
bersemu merah bagaikan buah delima yang matang, yang membuatku iri setengah
mati padanya meskipun saat itu aku sudah
masih berhubungan dengan Regan.
Tapi kalau boleh jujur, aku
jelas-jelas bahagia mengetahui sahabat baikku sejak masa-masa kuliah yang
mengerikan itu akhirnya akan menikah dan mengubah pola pikir bahwa pria itu
payah. Meski memang ada saat-saat di mana seorang pria bisa menjadi sangat
payah, kupikir kau mengerti maksudku. Aku senantiasa merinding setiap kali
membayangkan saat kami berdua menginjak usia lima puluh tahun dan tak ada
seorang pun pria—bahkan seorang kakek pun—yang mau
melirik kami berdua (atau salah satu dari kami), mengakibatkan kami berdua
harus ber-marathon serial Sex And The
City setiap malamnya.
Dan Kresna memang pernah membelikan
Fara tas Louis Vuitton. Sungguh sangat beruntung kali.
Selain Andre, yang sekarang malah
menjadi teman baikku dan berusaha mencarikanku seorang pria straight yang tampan, aku belum berhasil
menemukan pria lain yang sanggup membuatku tergila-gila. Walau aku sudah
berusaha lari-lari cantik di Gelora Bung Karno tiap akhir pekan yang jaraknya
luar biasa jauh dari apartemenku yang terletak di Jakarta Selatan, berusaha
mencari pria tampan (straight) yang
juga sedang jogging, usahaku tetap
saja nihil.
Hingga aku benar-benar berkenalan
dengan Regan.
Maksudku benar-benar berkenalan.
Regan Andriawan Sanjaya.
Kejadiannya kira-kira lebih dari dua
tahun yang lalu, hampir setahun setelah aku menyadari bekerja di The Doppler
adalah keputusan yang salah. Fabian, si bos besar, terkadang bisa terlalu
menuntut kubilang. Fara dan aku menjulukinya dengan The Devil Wears Adidas, karena kegemarannya mengenakan running shoes di berbagai acara.
Saat itu, Fabian sedang mengadakan
pesta random entah untuk merayakan
apa di sebuah bar bernama Riot’s Tavern, dekat dengan kantor kami di kawasan
Kuningan. Fabian memang suka begitu. Ia tiba-tiba saja menggelar pesta untuk
para pegawainya dengan alasan yang sedikit mengada-ada, misalnya memperingati
Hari Koperasi Indonesia atau merayakan ulang tahun Rihanna.
Aku sebenarnya sedang tidak mood untuk mengikuti pesta Fabian
meskipun aku tahu pesta-pestanya selalu heboh. Namun, Fara menyeretku untuk
menemaninya datang. Aku bisa apa kalau sudah menyangkut sahabatku itu? Akhirnya
aku datang hanya untuk melihat Fara dan Andre kerasukan dan menari gila-gilaan
sambil diiringi lagu Zedd. Benar-benar seorang pengkhianat bangsa.
Aku hanya duduk-duduk di konter bar,
memesan segelas lemon tea, dan
melihat kedua orang temanku berkhianat padaku di lantai dansa. Saat itulah, aku
baru menyadari ada orang lain yang juga duduk di konter dan asyik mengamatiku.
“Oh, hei, Man,” sapa Regan. “Enggak
ikutan?”
Ia mengedikkan kepala ke arah lantai
dansa, tempat Fara dan Andre semakin kerasukan dan memutar kepala mereka begitu
cepat membuatku khawatir kepala mereka bisa lepas.
“Lagi enggak mood, nih.”
Regan hanya membentuk huruf ‘o’
melalui mulutnya. Saat itulah, aku baru menyadari bahwa Regan ini lumayan juga.
Ia memang lumayan kurus dan mungkin sedikit
berotot—aku tidak ingin terlihat terlalu menilai—di balik kemeja lengan pendek
yang ia kenakan sekarang, tetapi ia lebih tinggi sekepala dariku, mungkin
lebih. Wajahnya ganteng juga di balik kacamata tipis yang selama ini ia
kenakan. Kami berdua memang tidak banyak berinteraksi, hanya sesekali saat ia
menyetor naskah. Dan ia lebih sering menyetor ke Fara.
Kami tidak berbicara banyak dan
hanya membiarkan musik-musik EDM dari Zedd mengisi keheningan ini.
“Lo sendiri?” tanyaku berusaha
menghilangkan kecanggungan.
Ia hanya tersenyum. Sebuah senyuman
yang sanggup membuat semua wanita di muka bumi ini saling bunuh untuk
melihatnya. Itu menurutku, setidaknya. Regan harus lebih sering tersenyum.
Selama ini aku mengira ia seorang hipster
berengsek yang selalu bertingkah seakan-akan ia lebih baik dan suci daripada
seluruh umat manusia. Namun, ternyata Regan cukup ramah.
“Yah, enggak ada yang ngajakin gue,
sih,” katanya dengan nada yang sedikit usil. Matanya berkilat-kilat nakal di
balik kacamatanya.
Itu barangkali percakapan terlama yang
pernah kami berdua lakukan.
“Kode banget, nih?” balasku.
“Sialan, ketahuan banget,” katanya
sambil menyeringai. Jantungku meloncat keluar.
“Yah, lo mesti belajar lagi untuk
menggunakan kode-kode.”
Regan hanya tertawa renyah, membuat
jantungku berusaha meloncat keluar lagi. Jika aku boleh menuntutnya untuk
setiap senyum, tawa, dan cengirannya yang mampu membuatku gagal jantung,
barangkali aku sudah menjadi orang kaya sekarang.
“Seru juga, ya, tapi pestanya
Fabian?” tanya Regan.
“Ya,” teriakku berusaha mengatasi suara
musik yang begitu kencang. “Walau gue enggak terlalu suka lagu-lagu yang
dimainkan?”
Aku menunjuk ke atas dengan
telunjukku. Hanya Tuhan yang tahu apa yang kutunjuk, tetapi sepertinya Regan
paham. Ia mengangkat kedua alisnya ke atas, terlihat tertarik dengan apa yang
kukatakan.
“Oh, ya? Lo suka lagu yang kayak
gimana emang?”
Hmmm. Aku sedang berhadapan dengan
salah seorang editor musik yang cukup kondang, dan kupikir waktunya untuk
menjaga citraku sebagai wanita yang memiliki selera musik yang bagus.
“Well,
gue suka banget sama The National. Yah, lagu-lagu macam yang mereka bikin
gitulah.”
“Wow! Yang bener?” seru Regan
semringah. “Gue juga suka banget sama The National. Favorit lo yang mana
emang?”
Tamat sudah riwayatku. Aku hanya
mendengarkan satu album The National.
“Pink Rabbits?” jawabku dengan nada
tak yakin.
Dan begitulah percakapan kami berdua
awalnya hanya membahas mengenai The National, perlahan-lahan aku menyetir pembicaraan
ke topik lain untuk menyelamatkan kedangkalanku, sebelum akhirnya topik-topik
yang kami bahas mulai menjurus ke topik pribadi.
“Oh, lo tinggal di Kemang?” tanya
Regan. Ia sudah memesan minuman untuk kesekian kalinya kepada sang bartender.
“Iya, gue tinggal di apartemen orang
tua gue. Gue bukan asli Jakarta sebetulnya, tapi kebetulan orang tua gue pernah
beli apartemen di Jakarta. Eh, ternyata gue kebetulan kerja di Jakarta makanya
gue pakai aja daripada apartemen itu jadi sarang hantu. Lo sendiri?”
“Gue ngekos di Pasar Minggu. Enggak
begitu jauh dari tempat lo.”
Apa maksud pernyataannya itu? Apakah
itu kode lain bahwa Regan ingin mengunjungi apartemenku? Apa aku yang terlalu
berlebihan dalam berpikir?
Percakapan dengan Regan berhasil
mengubah pandanganku tentangnya. Ternyata Regan seorang pria yang lucu,
menyenangkan, dan ramah.
Regan juga tampan.
Dan begitulah. Sejak pertemuan dan
percakapan kami berdua malam itu, kami semakin akrab. Tak lama kemudian kami
resmi berpacaran, diam-diam mencuri waktu dan tempat untuk public display affection di kantor. Untuk ukuran seorang pria culun
yang baru berpacaran dua kali seumur hidupnya, Regan cukup luar biasa.
Ciumannya maksudku. Regan sering sekali menginap di apartemenku, mengakibatkan
barang-barangnya yang bertebaran di kamarku.
Hari-hari bersama Regan barangkali
merupakan salah satu hari-hari terindah yang pernah terjadi dalam hidupku, selain
saat aku lulus dari neraka yang bernama kampus dengan tugas yang berlimpah ruah
seperti dosa. Ketika aku lulus dan mendapatkan gelar sarjana desain, aku merasa
usiaku sudah bertambah sebanyak sepuluh tahun. Regan mungkin sering bepergian
ke luar kota bahkan ke luar negeri untuk meliput konser dan baru kembali ke
Jakarta beberapa hari kemudian, tapi setiap kali ia pulang ke Jakarta, itu
adalah saat-saat membahagiakan bagiku. Kami menghabiskan waktu berdua hanya
dengan berjalan-jalan di kawasan Kota Tua, sambil menikmati kerak telor, dan
mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Ia pernah mengajakku naik mobil ke Pantai Anyer
suatu akhir pekan dengan tiba-tiba, menginap di sebuah vila di sana, dan
memandang Laut Jawa sambil melihat matahari tenggelam. Kami berdua
terus-terusan bergandengan tangan, berpelukan, dan berciuman sepanjang
perjalanan itu.
Awal tahun ini ia mengajakku ke
Laneway Festival di Singapura bersama-sama. Untuk pertama kalinya dalam seumur
hidup, aku pergi ke festival musik bersama dengan pria yang sangat kucintai.
Kami menonton banyak musisi—beberapa dari mereka bahkan tak pernah kudengar
namanya, tetapi Regan pasti tahu; ia tahu segalanya—menyusuri panggung satu ke
panggung yang lain. Tangan Regan tak pernah lepas dari genggamanku seolah-olah
ia takut aku bisa hilang di balik kerumunan orang jika genggamannya lepas
sedetik pun. Itu benar-benar manis.
Sangat manis.
Semua hal manis yang pernah Regan
lakukan padaku.
Saking manisnya, semua itu terasa seperti
mimpi. Apa itu semua mimpi? Apa semua yang Regan lakukan padaku hanya mimpi?
Apa pertemuanku dengan Regan hanyalah mimpi?
Satu hal yang tidak bisa kuterima
adalah Regan memutuskanku begitu saja. Tanpa alasan. Paling tidak ia bisa
mengucapkan sepatah dua patah kata kenapa ia memutuskanku meskipun alasan itu
adalah ada wanita lain di hidupnya. Tapi tidak. Regan hanya berlalu begitu
saja. Tanpa alasan. Setelah dua tahun masa-masa indah yang telah kami lalui.
Aku tahu seharusnya aku tak boleh
begini.
Hanya
saja—
Hanya
saja—
Regan bahkan bukan pacar pertamaku.
Ia pacar keempatku, tapi hanya cowok itu seorang yang bisa membuatku seputus
asa seperti ini. Namun, Regan-lah pria yang pertama kali memutuskanku.
Ya Tuhan! Aku harus mendengarkan
perkataan Fara. Aku mulai kelihatan menyedihkan.
Regan, kumohon kembalilah padaku!
Kembalilah padaku!
* * *
REGAN KEMBALILAH
PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH
PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH
PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH
PADAKU! REGAN—
Aku mencoret-coret kertas
Post-It-Note di hadapanku dengan kalimat yang sama bagaikan sebuah mantra: Regan
kembalilah padaku—yang membuatku sedikit berharap akan berhasil membuat ia
kembali karena kemampuan sihir yang kumiliki. Kupikir aku sudah menjelma orang
gila, tetapi Regan yang mulai duluan. Maksudku, apa salahku? Aku merasa tidak
melakukan kesalahan apa pun, jadi pasti Regan yang salah. Tapi aku bersedia
memaafkan apa pun yang telah ia perbuat. Kecuali kalau ia ternyata menggunakan
kartu kreditku hingga melebihi limit, tapi itu tidak mungkin. Gajinya lebih
banyak satu digit dariku, demi Tuhan!
Fara melirikku khawatir dari meja
kerjanya, beberapa meja jauhnya di sampingku, dan bukannya mengerjakan layout yang harus kami kerjakan untuk
majalah edisi bulan depan.
Saat aku balik meliriknya, ternyata
dugaanku salah. Ia terlihat sedang serius menghadapi sesuatu di balik layar
monitornya. Namun, setelah mengenal Fara selama beberapa tahun, aku ragu yang
ia hadapi sekarang adalah program InDesign yang harusnya ia lakukan sekarang.
Aku menduga ia sedang mencari rancangan gaun pernikahannya untuk akhir tahun nanti.
Bahkan sahabatku sendiri lebih
peduli dengan gaun pernikahan Anne Avantie dibanding dengan sahabatnya yang
sedang putus cinta.
Agar bisa melupakan semua perkara
soal Regan ini, aku memutuskan untuk membuka komputer di depanku dan mengedit image Sufjan Stevens yang luar biasa
tampan. Karena tak ada inspirasi, aku akhirnya membuka Notepad dan mulai
mengetik hal-hal acak: daftar belanjaan yang harus kubeli sepulang kantor,
lirik lagu Sufjan Stevens, daftar hadiah Natal meskipun Natal masih enam bulan
lagi. Apa pun yang bisa kulakukan untuk bisa mengalihkan pikiranku dari Regan.
Fabian melenggang dengan cantik di
depan mejaku dan berusaha mengintip ke balik layar monitorku, berusaha mencari
tahu apa yang sedang kukerjakan. Aku buru-buru menutup Notepad dan menampilkan
jendela Illustrator.
“Apaan?” sapaku galak.
“Jangan lupa itu artikel Sufjan
Stevens sama layout-nya udah harus
jadi besok Jumat,” katanya.
“Iya, sekarang masih Senin juga,”
jawabku dengan ketus.
Fabian hanya mengamatiku dengan
penuh ketertarikan. Ia lalu menyodorkan secarik saputangan dari saku celana chino-nya dan menyodorkannya kepadaku.
“Itu masih ada—item-item di pipi,”
katanya ragu. “Tenang aja, saputangan gue belum gue pakai kok.”
Aku mengambil saputangan itu dari
Fabian dan mengusapkannya ke pipi.
“Gue tunggu sampai Jumat,” katanya
sekali lagi hingga akhirnya berbalik dan berjalan menuju ruangannya. Di tengah
perjalanan, ia berteriak tanpa menoleh, “Abis ini bikin juga layout buat Barasuara!”
Fabian benar-benar orang yang
sinting.
Aku mengubrak-abrik tumpukan kertas
di atas mejaku yang berantakan, berusaha mencari draft artikel Sufjan Stevens yang sudah diberikan padaku. Memang
hari Jumat masih lama, tapi aku tak ingin Fabian terus-menerus mendelik dari
balik layar komputerku dan menggerecoki dengan keluhan-keluhannya pada hari
Kamis. Jadi, aku memutuskan untuk menyelesaikan semua ini sekarang. Daftar
belanjaan dan lirik lagu Sufjan Stevens dan hadiah Natal jelas-jelas bisa
menunggu.
Saat membuka laci meja,
bertanya-tanya apakah aku menyimpannya di dalam laci, aku menemukan selembar
foto yang berhasil membuat mataku berkaca-kaca kembali.
Itu adalah fotoku dan Regan saat
perjalanan kami ke Pantai Anyer dengan naik mobil. Berlatar belakang matahari
senja yang terbenam, Regan tanpa kacamata terlihat luar biasa tampan di foto
itu. Rambutnya berubah warna menjadi jingga akibat pantulan cahaya matahari
yang redup. Ia memeluk pundakku erat-erat sambil mengecup keningku dengan lembut.
Aku meraba keningku. Masih bisa
kurasakan kecupannya di sana.
Perjalanan itu benar-benar luar
biasa. Tak ada angin tak ada sebab, Regan tiba-tiba mengirimiku pesan aneh berupa
kode. Regan suka bermain detektif, dan memecahkan kode dan teka-teki merupakan
hobi keduanya selain mendengarkan musik. Ketika aku berhasil memecahkan kode
itu dan mengirimkannya ke Regan, yang kutahu ia sudah muncul di depan pintu
apartemenku lalu menggendongku ke dalam mobilnya dan memacu mobilnya ke Pantai
Anyer. Ia bahkan sudah menyiapkan seluruh perlengkapanku di dalam bagasinya.
Seorang pria turis paruh baya yang
tak bersalah menjadi korban pemaksaan kami berdua, memintanya untuk memotret
kami dengan kamera Regan. Sang pria yang tak berdosa itu menurut begitu saja.
“Kalian pasangan yang serasi,”
katanya sambil mengintip melalui lubang bidik dan memutar-mutar lensa.
Telunjuknya sudah bersiap untuk membidik kami berdua. “Hubungi saya jika kalian
nikah nanti.”
Regan hanya menyeringai sementara
aku, merasa hangat di dalam pelukannya, bersemu merah.
“Sudah,” ujar sang turis. Ia
menyodorkan kamera Regan kepada kami dan menunjukkan foto yang ia ambil.
“Kalian berdua memang ditakdirkan satu sama lain.”
Dan lagi-lagi Regan hanya
menyeringai. Atau ia hanya tersenyum tipis. Aku tak ingat.
Apa arti dari senyum tipis itu? Apa
itu berarti Regan sudah tahu kalau kami berdua tak akan pernah menikah? Apa ia
sudah merencanakan untuk memutuskanku pada satu Minggu malam dan membuatku
menangis seharian keesokan harinya di kantor? Apa ia sudah berselingkuh saat
itu?
Oke, soal berselingkuh itu aku hanya
mengada-ada.
Seandainya saja aku bisa mengundang sang
turis pria di pernikahanku dengan Regan suatu hari nanti. Ia bahkan sudah
menuliskan nomor teleponnya di secari kertas. Pak Teguh yang baik dan ramah,
sang turis, yang kami paksa untuk memotret foto mesra kami berdua. Entah
bagaimana perasaannya jika ramalannya tentang kami ternyata meleset?
Aku menatap foto di hadapanku sekali
lagi. Tanganku bergetar begitu hebat.
Baiklah! Sudah cukup, aku tidak bisa
lagi seperti ini.
Sambil menggenggam foto di tanganku
dengan sangat erat, kalau tak bisa dibilang meremasnya dengan sadis, aku
bangkit dari kursiku dan berjalan menuju ke sudut ruangan ini. Di dekat pot
berisi pohon pakis di sudut ruangan, ada sebuah mesin pengancur kertas
bertenaga turbo yang berdiri gagah di sana.
Setelah melihat foto ini untuk terakhir
kalinya, aku meletakkan foto itu di atas mesin penghancur kertas. Dengan
ragu-ragu. Bagaimanapun juga foto ini menyimpan sejuta kenangan indahku bersama
dengan Regan, pria yang telah memutuskanku. Kurasa aku memang harus
menyingkirkan semua kenangan bersamanya. Tapi aku masih ragu. Tak adakah
kemungkinan kami berdua untuk berbaikan kembali.
Saat terombang-ambing antara
memusnahkan foto itu atau tidak, aku melihatnya. Aku melihat Regan masuk ke
ruangan kerjaku! Aku bisa melihatnya dengan jelas, tampan dengan kaus polo dan
celana bahannya.
Pandangan kami bersirobok. Ia
menatap mataku.
Yang ia lakukan membuat mulutku
menganga.
Regan membuang muka.
Regan. Membuang. Muka. Dari.
Hadapanku.
REGAN. MEMBUANG. MUKA. DARI.
HADAPANKU. SEAKAN-AKAN. AKU. INI. HANYA. PAJANGAN. DINDING. YANG. MEMBOSANKAN.
Ia berjalan begitu saja melewatiku
menuju ruangan Fabian, tanpa menyapa atau menunjukkan tanda-tanda ia mengenalku
atau apalah, mengira aku hanyalah pegawai baru. Ia melewati mejaku dan masuk ke
dalam ruangan Fabian, lenyap ditelan oleh pintu kayu.
Tanpa sadar aku menyalakan tombol on, membuat mesin penghancur kertas
bertenaga turbo itu menyala dan bekerja, melumat setiap atom lembaran foto itu
menjadi serpihan-serpihan kertas itu.
Aku menatap serpihan-serpihan kertas
tu. Mata Regan tinggal separo dan aku sangat berharap itu juga terjadi di dunia
nyata. Dan mataku kembali panas.
* * *
Hujan deras di
tengah bulan Juni mengguyur kota Jakarta sore hari sewaktu aku pulang kerja.
“Yang bener, deh?” gumamku sambil
menembus guyuran air hujan di belakang kemudi. Aku mendongak memandang langit
yang mendung. Sekarang masih pukul setengah enam, tetapi langit begitu gelap seperti
tengah malam.
Fara yang duduk di sampingku tidak
mengucapkan apa pun. Ia sibuk cekikikan dengan ponselnya. Sungguh wanita yang
tidak sensitif di kala sahabatnya sedang patah hati, ia malah mengumbar
kemesraan dengan tunangannya.
Seperti biasa, ketika hujan turun
dan jam pulang kantor, jalanan Jakarta akan macet total. Tidak ada satu
kendaraan pun yang bisa bergerak, bahkan di jalan tol seperti sekarang ini. Aku
mengamati tetesan hujan dan membayangkan Regan yang mungkin juga masih terjebak
di Jakarta, tak bisa keluar dari sini.
Ia akan pergi ke Bali bersama dengan
seorang reporter The Doppler untuk meliput Svanati, festival musik terbesar di
Asia Tenggara, selama seminggu. Karena anggaran yang terbatas, keduanya terpaksa
melintasi Pulau Jawa berdua hanya dengan naik mobil. Seandainya aku dan Regan
masih berpacaran, aku mungkin sedang membantunya berkemas-kemas sekarang dan
menciumnya dengan lama ketika ia akan berangkat.
Suara klakson mobil membuyarkan
lamunanku. Aku terkesiap dan segera menekan pedal gas, mengarahkan mobil ke
arah Cilandak untuk mengantar Fara ini pulang ke rumahnya.
“Thanks,
ya, Man,” kata Fara begitu keluar dari mobilku. Kresna sudah berdiri memayungi
Fara di belakangnya membuat rasa iriku mencuat keluar. Sepertinya Fara memang
sengaja melakukannya untuk membuatku kesal. “Kalo lo mau cerita-cerita, kuping
gue semuanya buat lo hari ini.”
Samar-samar aku mendengar suara
Kresna, “Kalau kupingmu buat Manda semua, gimana kamu bisa denger rayuanku?” sebelum
akhirnya pintu ditutup.
Aku
merasa mual.
Hujan masih turun dengan sangat
deras begitu aku memacu mobilku ke arah Kemang. Jalanan juga masih dipadati
dengan mobil para pekerja. Aku yakin semuanya pasti kesal dengan hujan yang
turun secara tiba-tiba ini. Seharusnya tidak ada hujan di bulan Juni. Atau ada?
Dari mana Sapardi Djoko Damono mendapat inspirasinya menulis sajak kalau
begitu?
Saat aku berbelok ke Jalan Prapanca
Jaya, mobilku melindas genangan air yang cukup dalam dan memuncratkan kubangan
air. Butiran-butiran lumpur cokelat menempel di jendela. Lalu perlahan mobilku
mati.
Aku berusaha menstarter mobil
berkali-kali, tetapi tak bisa. Suara klakson mobil yang berisik mulai
terdengar. Aku merogoh ke bawah kursi untuk mencari payung, tetapi tidak ada.
Sembari menghela napas, aku membuka pintu dan menerjang hujan ke luar.
Barisan mobil sudah mulai mengantre
di belakang mobilku, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki mobil
ini. Tetesan-tetesan hujan membasahi rambut dan blusku sementara sepatuku
terbenam di dalam kubangan air yang gelap. Hari ini seharusnya tidak bisa lebih
buruk lagi.
Aku tidak tahu harus bagaimana. Jika
ada Regan, aku bisa meneleponnya dan memintanya untuk membantuku. Ia selalu
tahu apa yang harus dilakukan. Jika saja Regan tidak berangkat ke Bali hari
ini. Jika saja Regan tidak putus denganku.
Seperti menyadari kesulitan yang
kualami, sekumpulan tukang ojek di pinggir jalan berlari ke arahku dan bertanya
apa yang terjadi.
“Mobilnya
mati, Pak,” kataku dengan nada yang terdengar seperti cicitan seekor tikus.
Seorang
tukang ojek memberiku payung dan menuntunku untuk menyingkir ke trotoar,
sementara sejumlah tukang ojek lainnya mulai mendorong mobilku yang berada di
kubangan lumpur dengan susah payah agar bisa memberi jalan ke mobil yang lain.
Tiba-tiba saja sebuah motor melaju
dengan kencang di depanku, memuncratkan genangan air kotor ke wajah dan blusku.
Aku sedikit menjerit, dan pegangan payungku terlepas, membiarkan guyuran air
hujan kembali membasahi kepalaku.
Ini merupakan hari terburuk dalam
hidupku. Seandainya Regan tidak putus denganku, ini semua tidak akan pernah
terjadi. Setengah berlari, aku menyeberang jalan raya menuju trotoar, merasakan
air mata dan air hujan bercampur menjadi satu.
* * *
Aku baru masuk ke
pelataran parkir apartemenku pukul delapan malam dalam keadaan basah kuyup,
kedinginan, dan luar biasa lelah. Untung tukang ojek yang baik hati mau
mencarikan montir untuk memperbaiki entah apa yang salah dengan mobilku. Aku
yang kesal tidak memperhatikan apa pun yang dikatakan montir, dan hanya
mengangguk-angguk saat ia akhirnya menyodorkan kunci mobilku. Tanpa basa-basi
aku mulai meloncat masuk ke dalam mobil, menyalakan penghangat, dan menyetir
pulang.
Dengan mood yang luar biasa hancur lebur, aku keluar dari mobil dan
menyeret kakiku untuk masuk lift, berharap tidak ada orang lain yang naik lift
bersamaku. Aku pasti tampak mengerikan dengan wajah dan baju yang berlumuran
lumpur. Aku segera menekan angka lima berulang kali.
Syukurlah tidak ada orang lain yang
naik lift sepanjang perjalanan ke lantai lima. Batinku tidak siap untuk
menghadapi kernyitan dari orang-orang yang melihatku. Mereka pasti berpikir aku
habis masuk ke dalam selokan atau apa.
Lorong lantai lima juga sepi,
kecuali ada seorang pria yang berdiri tak jauh dari depan pintu kamarku.
Mungkin itu pengantar piza yang sedang menunggu tetanggaku membuka pintunya.
Tetanggaku seorang komikus, dan awalnya karena sama-sama hidup dari belas
kasihan Ptah, dewa kesenian dan kreativitas, kami seharusnya berteman baik. Namun,
sepertinya tidak. Rifki, si tetangga, sangat eksentrik, tidak pernah mandi, dan
memiliki peliharaan beo yang berisik bernama, Pocky. Tidak, terima kasih, aku
lebih baik tidak bertetangga saja.
Si pria menatapku aneh begitu aku
berjalan melewatinya. Sepertinya ia bukan pengantar piza karena ia tidak
membawa kardus piza dan ia tidak memakai seragam. Pria itu lumayan tampan dan sepertinya
sebaya denganku. Rambutnya hitam acak-acakan dan sedikit basah, pertanda ia
juga habis kehujanan. Rahangnya terlihat kukuh, dan tampaknya begitu pula tubuh
yang dibalut dengan jaket kulit hitam itu.
Ya Tuhan, apa, sih, yang aku
pikirkan?
Aku seharusnya masih bersedih
memikirkan Regan.
Sambil mengubek-ubek isi tasku untuk
mencari kunci, aku mengamati si pria-asing ganteng melalui sudut mataku. Ia
terlihat bingung dan gelisah. Wajah pria itu, jujur saja, terlihat sangat
familier meski aku tak tahu dari mana aku pernah melihatnya.
Saat hendak memasukkan kunci ke
lubang kunci, aku mendengar pria itu bersuara.
“Permisi?” tanyanya. Suaranya tegas
dan dalam, seperti—tidak, aku tidak boleh menyebutkan namanya lagi.
Tanganku menggantung di udara, dan
aku menarik kunci itu lalu memasukkannya ke dalam saku. Apakah pria ini seorang
pencuri? Kalau iya, ia harus menghadapiku terlebih dahulu sebelum mengambil
kunciku. Aku meningkatkan kewaspadaanku.
“Apa Anda benar Amanda?”
Aku sedikit terperanjat. Pria ini
tahu namaku. Mungkinkah aku pernah bertemu dengannya sebelumnya?
“Well,
ya?” jawabku. “Kamu siapa?”
Pria itu malah tersenyum cerah
seperti matahari, dan entah kenapa membuatku merasa sedikit hangat. Ia membuka
tangannya lebar-lebar seakan-akan ingin memintaku untuk memeluknya. Saat aku
diam saja dan tidak merespons apa pun, ia menurunkan lengannya, tetapi senyumnya
masih menempel di bibirnya.
“Halo, Mama,” katanya.
Halooo~ Ini Octa. ^^
ReplyDeleteUdah dua bulan belakangan ini, saya ikutan reading along ASOIAF dan pas baca--ini bab satu kali, ya?--tulisan Dandy ini, rasanya kayak dapet dessert setelah makan steak bersama Ramsey Snow. Hahahaaa~
Ini awalan yang bagus, Dandy. Opening yang gak pake lama dan gak pake ribet, dan gue suka. Soalnya, entah kenapa beberapa waktu belakangan ini, gue baca novel dan--ini mungkin nasib juga, sih--ketemu novel yang pas di opening ngasih backstory gak kira-kira. Jadinya kan, malah puyeng yang baca. Kalo menurut gue, pas di bagian awal ini, udah pas gitu backstory-nya. Gak kebanyakan sampe bikin puyeng dan gak kesedikitan sampe yang baca gak tau letak permasalahannya di mana.
Cara nulisnya kayak novel terjemahan, ya. Pas mbaca, gue kayak denger suara John Green jadi narator di kepala gue. Hahahaaa.
Oh, sebelum lupa.
Bagian tentang musik, album, lagu, EDM, menurut gue itu bagus banget soalnya gue mulai menyadari kalo banyak banget novel yang menyia-nyiakan kesempatan untuk masukin referensi ke dalamnya. Dan kalo diingat-ingat lagi pas gue nonton Gilmore Girls, itu karakternya kan suka banget baca, buku yang lagi dia baca di episod yang lagi gue tonton, besokannya gue cari loh di perpus. Jadinya kayak nge-endorse tapi masih ada hubungan sama karakternya dan buat gue, itu asyik.
Pengen ngasih cabe deh, Dandy ... tapi belum bisa soalnya sampe sejauh ini, belum ada komplain. Kalo dipaksa, yah, background blog ini diganti gitu. Ada lebih lima blog yang gue tahu pake background ini.
Terakhir, lanjutkan!
LANJUTKAN!!!
Karena pas semua udah selesai ditulis sampe terakhir, kita baru bisa liat gambaran besarnya dan bisa ngasih cabe dengan lebih seksama.
Oooh, tapi ada satu sih. Ini semacam saran sih, bukan cabe.
Deskripsi.
Serius, deh. Taroh cerita di panggung, Dandy. Gambarkan panggungnya. Pas karakternya lagi ngobrol dengan karakter lain, coba deh kasih gesture atau apa gitu yang bikin dia seolah memang bergerak dan bernyawa.
Jadi, lanjutkan.
Entah kenapa gue banyak ketemu temen penulis yang bagus tapi gak pernah diterbitkan. Dikau salah satunya. Jadi, it's your turn. Selesaikan dan kirim.
Oke?
Ditunggu juga lanjutannya~