3
YOU ARE A TOURIST
And if you feel just like a
tourist in the city you were born
Then it's time to go
And define your destination
Death Cab For Cutie — “You Are A Tourist”
* * *
Suara ketukan pintu samar-samar membuatku terjaga dari tidurku. Aku
mengerjap-ngerjapkan mata dan berusaha memutar otakku siapa yang mengetuk pintu
pagi-pagi benar. Regan? Sebelum aku ingat kalau Regan sudah putus denganku.
“Ma, bangun, Ma!” Suara
pria yang berat dan serak. “Kita mesti segera berangkat ke Bali.”
Dalam hati aku mengutuk.
Ternyata Tobias bukan sekadar mimpi. Aku membuka mataku lebar-lebar, lalu
berusaha meraba-raba nakas kecil di samping tempat tidurku, berusaha mencari
ponsel. Layar ponsel menunjukkan pukul setengah lima pagi.
“Sekarang baru jam
setengah lima!” teriakku, melempar bantal ke arah pintu meski aku tahu itu
tidak akan membuahkan apa pun.
“Semakin cepat, semakin
baik,” balas Tobias, ia lalu mengetuk pintuku secara bertubi-tubi dan
menciptakan kegaduhan yang luar biasa.
“Iya, iya, gue bangun!”
Aku bangkit dari atas kasur. Kakiku menginjak permukaan yang licin. Jaket kulit
Tobias. Aku mengangkatnya dan menaruhnya di atas kasur, lalu berjalan membuka
pintu kamar.
Sosok Tobias menjulang
tinggi di hadapanku. Rambutnya basah dan tubuhnya menguarkan aroma mentol yang
cukup pekat, aroma sabun kesukaan Regan. Mencium baunya saja sudah membuatku
merasa merindukannya. Merindukan Regan maksudku. Bukan Tobias.
Tobias mengenakan
kemeja flanel milik Regan dan celana jins yang sama dengan yang ia pakai
semalam. Tobias terlihat seperti salinan Regan. Aku kehilangan kata-kata.
“Kenapa rambut lo basah?” merupakan
satu-satunya pertanyaan yang justru meluncur keluar dari mulutku.
“Karena aku habis mandi?”
jawabnya. Ia lalu menarik-narik kemeja flanelnya. “Apa aku boleh pakai baju
Papa?”
“Ya, ya, pakai aja sesuka
lo,” sahutku tidak peduli. Sambil mengucek-ngucek mata aku melewati Tobias dan
berjalan ke sofa di depan televisi untuk melanjutkan tidur sesi keduaku. “Kita
beneran jadi ke Bali, nih?”
Aku bisa merasakan
kehadiran Tobias yang mendekat. Ia lalu mengangkat tanganku sementara tanganku
hanya terkulai lemas.
“Beneran, kita mesti
nyusul Papa secepat mungkin!”
“Tapi gue masih ada banyak
kerjaan,” gumamku. “Gue belum minta izin cuti juga.”
Tobias masih sibuk
berkutat untuk membuatku benar-benar terjaga. Ia menarik setiap jengkal lengan
dan kakiku agar mau bergerak, tetapi aku hanya bergeming. Tiba-tiba saja aku
merasakan tangannya berada di punggungku. Aku membuka mata lebar-lebar dan mata
Tobias hanya berjarak beberapa sentimeter dari mataku. Tubuhku juga sedikit
terangkat.
“Lo ngapain?” Aku melotot
padanya.
“Mama harus bangun,”
ucapnya kalem.
Ia hanya tersenyum kecil,
sementara aku merasakan pembuluh darah di pelipisku nyaris meledak karena sebal
padanya. Ia sungguh benar-benar kurang ajar.
“Kenapa, sih, lo maksa
gue?” Tobias menjatuhkanku kembali ke atas sofa dengan lembut. Aku langsung
bangkit dan memandangnya keji, tapi yang dipandangi hanya balik melihatku
dengan tatapan tidak bersalah.
“Mama sendiri yang bilang
mau ke Bali.”
“Gaaah!” teriakku. Aku
mencakar-cakar rambutku yang masih berantakan, membuatnya makin berantakan.
Seandainya saja aku bisa mencakar-cakar wajah Tobias dan menghilangkan senyuman
jahat itu dari bibirnya. Aku berdiri dan masuk kembali ke kamar, membuka lemari
baju dan mengeluarkan koper dari sana. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Tobias
bersandar di kusen pintu sambil melipat tangannya di depan dada sementara aku
mengisi koper dengan seadanya.
“Mama punya tas ransel
atau duffel?” tanyanya setelah aku
selesai merapikan isi koper. Aku hanya membawa empat pasang setel pakaian
karena aku tak yakin berapa lama aku akan ada di Bali. Aku sendiri juga tak
tahu kenapa aku mau mendengar omongan pria sinting ini, tetapi sejujurnya dari
dalam lubuk hati aku tahu pergi ke Bali adalah hal yang benar.
“Coba cari di lemari Regan
mungkin dia ninggalin tas gym-nya di
situ,” jawabku sekenanya. Tobias lenyap tanpa suara seperti siluman. Setelah
cukup puas dengan packing ekstrakilat
ini, aku memutuskan untuk mandi.
Tobias sedang membuat nasi
goreng begitu aku selesai berpakaian dan berdandan dan menyeret koperku keluar
dari kamar. Baunya sedap, mengingatkanku akan nasi goreng buatan buatan Mama
sewaktu aku kecil dulu. Aku duduk di meja makan sambil asyik memandangi Tobias.
Tobias yang mengenakan kemeja Regan. Tobias yang terlihat mirip sekali dengan
Regan.
Lamunanku buyar oleh
spatula yang nyaris menusuk ke mataku.
“Bilang ke bos Mama kalau
Mama ambil cuti buat seminggu,” katanya, menarik spatulanya kembali. Ia lalu
menuangkan nasi goreng dari atas wajan ke piring yang sudah tertata rapi di
meja makan.
“Siapa lo nyuruh-nyuruh
gue?” ujarku enggan menyetujuinya, tetapi aku tetap meraih ponselku dan
menelepon Fabian. Setelah menunggu suara ringback
tone dari Cita Citata, (tentu saja, sungguh sangat khas Fabian), suara
Fabian yang serak sehabis bangun langsung mengisi telingaku.
“Gila kali lo ya bangunin
gue jam setengah enam!” teriaknya dengan suara mengantuk, sesekali diselingi
dengan suara erangan yang tidak senonoh.
“Maaf, Fab, tapi gue minta
cuti buat seminggu paling lama,” kataku takut-takut. Tobias yang duduk di
seberangku mengamati dengan penuh ketertarikan.
“Ngapain, sih, layout Barasuara lo belum kelar woy!”
teriak Fabian. Hanya ia seorang yang masih mampu berteriak-teriak pada pukul
setengah enam pagi dengan kekuatan penuh. Aku mendengar suara istrinya, “Kenapa
pagi-pagi udah teriak, sih?” Fabian menjawab, “Ini ada anak udik yang mau cuti
mendadak.”
Aku mendengar percakapan
antara Fabian dan istrinya, dalam hati merasa kasihan pada istrinya yang harus
berhadapan dengan suami penuh drama seperti Fabian.
“Lo nguping, ya?” Fabian
berkata dengan suara menuduh karena aku tak berkata apa pun.
“Ah, enggak, ngapain juga
gue nguping?” balasku defensif.
“Lo belum jawab kenapa lo
mau cuti.”
“Gue mau ke Bali,”
jawabku.
“Enak banget hidup lo
ninggalin kerja buat pelesir ke Bali.”
“Lo tahu kenapa gue mau ke
Bali,” balasku dengan sok misterius.
Fabian menghela napas.
“Enggak. Gue enggak tahu,”
jawab Fabian sebelum ia melanjutkan, “Ya udah, pergi sono.”
Aku melonjak gembira.
“Beneran?”
“Iya, tapi bawain gue pie susu dua dus,” kata Fabian lagi.
“Kalau lo enggak mau gue laporin ke Mbak Sandra karena bolos terus lo dipecat.”
“Beres. Tolong bilangin ke
Mbak Sandra kalau gue ada urusan keluarga yang mendesak dan mesti pergi ke
Bali,” kataku, tidak berbohong sepenuhnya. Maksudku ini memang urusan keluarga.
Keluarga masa depan, tentunya. Semoga alasan itu bisa diterima Mbak Sandra.
Mbak Sandra merupakan orang HR yang mengurus berbagai
macam pembangunan karakter dan menindak pegawai The Doppler yang senang
membolos. Judesnya luar biasa, tapi entah kenapa Fabian dan Mbak Sandra bisa
menjadi teman baik. Mbak Sandra juga belum menikah. Aku penasaran kenapa.
“Iya iya entar gue bilang
ke Mbak Sandra. Tapi inget pie susu
dua dus,” kata Fabian. Ia kemudian menjauhkan mulutnya dan berkata pelan pada
istrinya, “Kamu mau oleh-oleh apa dari Bali, Sayang? Ini Manda mau pelesir ke
Bali.”
Aku hanya memutar bola
mata.
“Istri gue mau kaus
Barong. Bawain itu juga. Entar gue tuker,” kata Fabian melalui telepon.
“Siap, Pak Bos! I love you, Fabian.”
Sesaat sebelum aku hendak
menutup telepon, aku mendengar suara Fabian memanggilku, “Man.”
“Ya?”
“Kalau Regan bikin lo
nangis lagi, bilang ke gue. Entar gue yang hajar.”
“Kayak lo bisa ngehajar
orang aja.”
“Sialan lo.” Fabian
memutus teleponnya, tetapi perkataannya masih terngiang. Kata-katanya membuatku
sedikit merasa hangat.
Tobias sudah menikmati
nasi gorengnya duluan. Setelah aku meletakkan ponselku ke atas meja, ia berhenti
mengunyah dan bertanya, “Gimana?”
“Fabian ngebolehin. Puas,
kan, lo?” jawabku.
Walau aku sebal harus
pergi dengan Tobias—yang bahkan sampai sekarang aku masih belum bisa memercayai
ceritanya—aku merasa senang karena bisa kabur sejenak dari pekerjaan kantor
yang memuakkan. Dan pergi ke Bali. Benar-benar pergi ke Bali. Dan bertemu
Regan.
Tobias tidak bisa
menyembunyikan senyum semringahnya.
“Bagus, kita berangkat jam
setengah tujuh, ya,” sahutnya singkat. Ia lalu mengedikkan kepalanya ke arah
piring nasi goreng di depanku. “Sekarang Mama sarapan dulu.”
Sambil menggerutu, aku
mengambil sendok dan menyuapkan nasi goreng buatan Tobias ke dalam mulut. Nasi
gorengnya terasa ... enak. Poin menyebalkannya bertambah satu lagi.
“Gimana?” tanya Tobias
sambil senyum-senyum.
“Siapa yang ngajarin lo
masak?” balasku galak, tetapi tidak sanggup berhenti mengunyah.
“Mama. Mama yang ngajarin
aku masak sebelum aku kuliah biar hemat.”
Aku memang bisa dibilang
lumayan dalam memasak, tetapi aku bahkan tidak pernah berpikir bahwa aku akan
membagi ilmu memasakku yang cukup dangkal ini ke anakku nantinya.
Kami melanjutkan sarapan
dalam diam. Tobias selesai duluan. Ia berdiri lalu mencuci bersih piring kotor
dan wajan yang ia gunakan untuk memasak nasi goreng. Sembari mengelap tangannya
agar kering, ia bertanya, “Jaketku di mana, Ma?”
“Di kamar gue. Entar gue
yang ambilin,” jawabku.
Tobias mondar-mandir
dengan tidak sabar di depanku, membuatku sedikit terganggu dan tergesa-gesa
dalam menghabiskan sarapan yang ia buat.
“Duduk aja kenapa, sih?”
Tobias duduk, tapi ia
mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja makan juga dengan tidak sabar.
“Kita mesti buruan
berangkat,” katanya.
“Kenapa buru-buru amat,
sih? Regan juga bakalan masih seminggu di Bali. Ia juga paling baru mau
nyeberang juga sekarang.”
Setelah menenggak habis
segelas air putih, aku berdiri dan berjalan ke kamar untuk mengambil jaket
kulit Tobias, kunci mobil, dan kunci apartemen. Tobias sudah mencuci bersih
piringku ketika aku melemparkan jaket itu padanya.
“Tuh jaket lo.”
Tobias menangkapnya dengan
sigap.
“Oke, makasih, Ma.
Sekarang kita sudah siap untuk berangkat,” ujarnya sambil mengangkat tas gym Regan yang berhasil ia temukan.
“Mana koper Mama?”
Aku menunjuk koper hitam
yang berdiri di samping sofa dengan daguku. Perjalanan ini benar-benar begitu
mendadak dan tidak direncanakan sama sekali. Aku mengedarkan pandangan ke apartemen
ini, berusaha mengingat setiap sudutnya. Mungkin jika Tobias orang jahat—dan
aku seorang wanita bodoh yang mau saja menuruti ide gilanya—ini adalah terakhir
kalinya aku akan melihat apartemen ini, beserta dengan kenangan akan Regan di
dalamnya.
Tobias menyampirkan tas gym di bahunya, mengangkat koperku, dan
membungkusnya dengan jaketnya lalu berjalan ke pintu depan sebelum ia menyadari
bahwa pintu depan terkunci. Ia berbalik dan memberi tatapan memohon. Untuk
pertama kalinya dalam sehari, aku tersenyum. Setelah mematikan lampu dan
memastikan kompor sudah benar-benar mati, aku membuka pintu. Udara pagi Jakarta
yang masih segar langsung menyambut kami berdua. Aku merapatkan blazer yang kukenakan.
“Dingin, Ma?” tanya Tobias
sambil menghirup udara dalam-dalam. Ia menyeret koperku keluar, sepertinya
koperku terlalu berat untuk diangkat, tetapi ia berusaha keras untuk tidak
terlihat susah payah. Aku mendengus. Dasar pria sok tangguh.
Aku mengunci apartemen,
melirik ke arah kamar sebelah. Lampunya masih belum menyala. Rifki mungkin
belum bangun. Aku berjalan ke arah lift, sementara Tobias menyusul dengan repot
di belakangku.
Kami turun dalam diam. Lobi
apartemen yang besar masih sepi. Kesibukan terlihat hanya di bagian kantin
penghuni yang mengeluarkan bau kopi dan nasi uduk yang sedap.
“Mau kopi?” tanyaku pada
Tobias yang hanya ia jawab dengan gelengan. “Gue pikir lo mau jajan dulu.”
Seseorang memanggil namaku
saat kami berdua keluar dari lobi dan berjalan menuju pelataran parkir.
“Mbak Manda, tunggu!”
Pak Wirya, satpam
apartemen, tergopoh-gopoh mendatangi kami berdua. Tangannya memeluk erat kardus
berukuran sedang dengan erat-erat.
“Ini kemarin Mas Regan
nitip buat Mbak. Saya kelupaan buat ngasih ke Mbak semalam,” kata Pak Wirya. Ia
menyodorkan kardus itu yang langsung diterima oleh Tobias meskipun ia sendiri
sudah kerepotan. Pak Wirya memandang menyipit pada Tobias dengan tatapan
bertanya-tanya.
“Oh, ini temenku, Pak
Wirya,” jelasku dengan berbohong. Jika aku mengatakan bahwa Tobias adalah
anakku, Pak Wirya mungkin akan pingsan di tempat. “Makasih banyak, ya, Pak. Oh,
ya, saya mau pergi barangkali seminggu. Tolong titip segala sesuatunya, ya.
Nanti saya kasih oleh-oleh, deh.”
“Beres, Mbak.” Ia berkata
sambil menghormat. “Saya lanjut kerja lagi, ya, Mbak.”
Pak Wirya meninggalkan
kami berdua. Aku menoleh ke arah Tobias yang mengerang dan terlihat kerepotan.
“Udah enggak usah sok
kuat, deh,” kataku, lalu mengangkat kardus Regan. Tidak berat. Aku mengintip
isinya, sepertinya tumpukan CD dan barang-barangku yang pernah ia pinjam.
“Itu apa?” tanya Tobias
sembari berjalan. Aku celingukan mencari posisi Ford merahku diparkir. Semalam
aku benar-benar lelah dan tidak memperhatikan dengan saksama.
“Paling barang-barang yang
dulu pernah dipinjem sama Regan,” jawabku sambil memencet tombol di kunci. Suara
alarm yang nyaring terdengar memecah keheningan Jakarta pagi. Mobilku terparkir
di sudut lain dari tempat kami berjalan. Kami memutar arah.
Tas gym dan koperku langsung memenuhi bagasi mobil, tidak meninggalkan
ruangan yang cukup untuk kardus Regan.
“Apa balik ke kamar dulu
buat naruh barang ini?” usulku.
“Kita enggak punya banyak
waktu, Ma. Taruh aja di kursi belakang!”
“Siapa, sih, yang nyuruh
kita buru-buru,” omelku, tapi aku sendiri juga enggan berjalan kembali ke
kamar. Bisa-bisa aku malah melanjutkan tidur dan tidak jadi pergi.
Mungkin itu bukan ide yang
buruk.
Tobias langsung mengangkat
koper itu, menjatuhkannya di kursi belakang, lalu mengambil kursi penumpang di
sebelah kiri.
Aku hanya menghela napas
dan mengambil kursi pengemudi di sampingnya.
“Kita enggak ada rencana
sama sekali, lho,” kataku. Aku menstarter mobil.
“Tenang aja, Ma. Aku tahu
apa yang aku lakukan.”
Ya, tentu saja.
Kami meluncur di jalanan
Jakarta yang sudah mulai menunjukkan kemacetan. Jalan Kemang Raya dipadati mobil dan motor berpengemudi anak SMA yang
sembrono.
Tobias mengutak-atik radio
dan berusaha mencari stasiun radio untuk mengisi keheningan yang tercipta. Ia
berulang kali memutar-mutar kenop dengan frustrasi dan mengeluarkan lenguhan
kekecewaan saat tidak menemukan stasiun radio yang pas menurutnya. Akhirnya ia berhenti
pada stasiun radio yang memutarkan lagu-lagu kekinian.
“Payah gini, semuanya
lagu-lagu zaman dulu,” gerutunya.
“Ya, jelas dong lo dari
masa depan!” sahutku ikut-ikutan naik darah. “Coba cari di kardus Regan. Siapa
tahu ada CD yang lo suka.”
Tobias meraih kardus dari
kursi belakang dan memangkunya di depan. Ia terlihat seperti seorang anak kecil
yang baru mendapatkan hadiah Natal yang buruk. Satu per satu, Tobias
mengeluarkan tumpukan CD yang ia temukan.
“Hum, kenapa ada teflon
dan piring di sini?” tanya Tobias mengintip sisa-sisa isi kardus Regan. “Ada
dua kaus sama satu celana legging di
sini. Mama nakal, ya.”
Mukaku memerah seperti
kepiting rebus, tetapi Tobias tidak menyadarinya. Pria itu sibuk memilah-milah
tumpukan CD yang ia temukan.
“Hum, Arctic Monkeys, Papa
sering cerita sekali soal band ini,
tapi mereka bakalan punah di masa depan,” katanya, memberikan penekanan pada
kata punah. Ia memasukkan CD hitam
dengan tampilan gelombang modulasi amplitudo itu kembali ke kardus.
“Death Cab For Cutie?
Basi. The Beatles? Apalagi,” komentarnya seenaknya. Betapa aku ingin
mencekiknya, tetapi tanganku fokus mengendalikan kemudi. Jalanan lumayan ramai dan aku tidak ingin mencelakakan diriku dan mobilku. Hal yang
sama tidak bisa kukatakan pada Tobias.
“Ini apa, Ma?” tanyanya sambil
melambaikan beberapa CD yang tidak memiliki tulisan apa-apa di sampul depannya.
Aku menoleh sekilas dan
memori akan Regan kembali menyelimuti pikiranku. Itu adalah mixtape yang khusus Regan buat tiap kali
berkencan berdua. Salah satu mixtape
itu menemani perjalanan kami ke Pantai Anyer. Mataku kembali terasa panas mengingat
perjalanan romantis yang pernah kami buat.
“Mixtape buatan Regan,” jawabku, berusaha menarik kembali air mataku
ke atas.
“Kalau yang ini juga mixtape?” Ia mengacungkan satu lagi CD.
Kali ini tidak polos, tapi ada tulisan Untuk
Amanda. Gerigi otakku berdesing. Aku tidak pernah ingat soal mixtape itu. Aku selalu hafal setiap mixtape yang pernah Regan buat, tapi itu
sepertinya baru. Lagi pula, Regan tidak pernah menulis apa pun di mixtape-nya. Ataukah mungkin ada yang
kelewatan?
“Sepertinya, iya, tapi gue
enggak ingat yang satu itu.”
Tobias membuka tempat CD
itu. Dari sudut mataku aku melihat secarik kertas bertuliskan satu daftar
terjatuh di pangkuan Tobias. Ia mengangkatnya dan membaca tulisan di kertas
itu.
“Ini track list,” jawabnya.
Wow, itu hal yang baru.
Regan tidak pernah menulis track list
sebelumnya. Apakah ini memang mixtape
baru Regan? Apakah ia salah memasukkan CD ini ke kardus yang berisi
barang-barangku?
Aku menangkap tiang yang
bertuliskan Indomaret dan memasukkan mobilku ke tempat parkir.
“Sana beli camilan sama
minum!” suruhku, lalu merebut mixtape
itu dari tangan Tobias. Ia terperanjat lalu segera keluar dari mobil sebelum ia
berhenti mendadak, seakan sedang teringat sesuatu.
“Ma, aku, kan, tidak bawa
uang ke sini,” katanya pelan.
Aku merenggut dompet dari
dalam tasku dan menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan padanya. Tobias
menyambut uang itu dengan penuh sukacita meski ia bergumam, “Hebat, aku
sekarang kayak anak SD yang minta-minta uang ke ibunya.”
Setelah Tobias masuk ke
Indomaret, aku mulai membaca track list
yang ada di dalam mixtape ini. Tulisan
tangan Regan yang rapi membuatku kembali rindu padanya.
Khas Regan. Membuat mixtape dari musisi yang bahkan tidak
pernah aku dengar namanya sebelumnya. Sebuah band bernama Someone Still Loves You, Boris Yeltsin? Atau itu judul
lagunya?
Aku membolak-balik kertas
tersebut. Nihil. Tak ada coretan apa pun selain tulisan tangan Regan. Mungkinkah
ini mixtape yang ingin ia berikan
padaku, tetapi ia tak sempat karena sudah putus terlebih dahulu?
Tiba-tiba saja otakku mengingat
kenangan dengan Regan sebelum kami berangkat ke Pantai Anyer. Ia mengirimkan
sebuah pesan aneh, dan sebuah petunjuk untuk memecahkannya. Ia mengirim gambar
empat buah kotak dengan barisan huruf, dan kata-kata aneh di bawahnya. Mungkinkah
ia melakukan hal yang serupa dengan mixtape
ini?
Aku meneliti kembali tulisan
tangan Regan, berusaha menangkap petunjuk yang mungkin tersembunyi di sana. Beberapa
lagu yang kukenal dan pernah kudengar terlihat tidak saling berhubungan. Potongan-potongan
lirik dari lagu-lagu tersebut juga tidak masuk akal. Aku mengacak-acak rambutku
saat Tobias menyelinap masuk. Kedua tangannya menenteng dua kantung plastik besar.
Ia menyodorkan kembalian padaku dan menutup pintu mobil.
Tobias mengeluarkan barang
belanjaannya: beberapa bungkus keripik kentang, berbotol-botol air mineral dan teh,
setengah lusin cokelat batang. Ia menunjukkannya padaku dengan ekspresi yang terlihat
sangat puas. Setelah mengambil satu bungkus cokelat, ia meletakkan kantung belanjaan
di kursi belakang.
“Gue pikir ada pesan rahasia
di mixtape ini,” kataku sambil melambai-lambaikan
CD itu depan Tobias.
“Oh, ya?” Hanya itu yang mampu
ia ucapkan.
“Yah, mungkin harus gue dengerin
dulu,” gumamku, menekan tombol pembuka pemutar CD dan memasukkan mixtape Regan ke sana.
Suara petikan gitar yang cadas
langsung mengisi mobil ini. Beberapa menit kemudian, aku mulai mengenal suara drum,
tetapi tidak ada suara orang yang menyanyi. Ini lagu instrumental. Aku meneliti
track list lagi. Ini lagu dari Rush. Hanya
Tuhan yang tahu siapa dia.
“Lo tahu Rush?” tanyaku pada
Tobias.
Ia mengangkat bahu.
“Siapa, sih, yang lebih senior
di sini?” katanya.
Bahkan celaan Tobias tidak
membuatku kesal. Ini menunjukkan bahwa aku benar-benar penasaran dengan mixtape Regan. Jika Regan memang benar-benar
meninggalkan suatu pesan di sini, mungkinkah itu akan menjelaskan semua ini?
“Coba lo cari pakai ponsel
gue,” ujarku, menyodorkan ponsel ke Tobias, sementara aku mulai menyalakan mobil
dan kembali meluncur ke jalanan.
Butuh waktu beberapa menit
agar Tobias bisa menemukan info soal Rush. Ia terlihat sedikit kesulitan mengoperasikan
ponselku.
“Teknologi ponsel seperti ini
sudah punah sepuluh tahun yang lalu,” gumamnya sambil mengusap-usap ponselku dengan
sadis. “Kami sekarang tidak menggunakan ponsel sebesar ini lagi sekarang. Semuanya
sudah berukuran chip di masa depan.”
“Ya, terserah lo sajalah. Jadi,
siapa Rush?”
“Rush adalah band rock progresif asal Kanada yang beranggotakan
Alex Lifeson di gitar, Geddy Lee di vokal, bass, dan keyboard, serta John Rutsey di drum. Mereka terbentuk pada tahun 1968.
Wow!” kata Tobias merepet.
“Sangat tidak membantu, terima
kasih banyak. Sekarang gue jadi bertanya-tanya apa lo beneran cumlaude atau enggak,” ujarku sambil memperlambat
jalur mobil.
“Aku beneran cumlaude dan Mama beneran bangga!” sahutnya
defensif.
“Iya, yaelah, kenapa defensif
amat, sih?”
Sementara itu, lagu dari band rock progresif ini sudah berganti. Ada
suara dengung aneh di akhir lagunya, sebelum akhirnya track ini berganti. Aku membaca track
list. Ini lagu dari 44th Sunset. Satu lagi musisi yang tidak kukenal.
Mobil melaju di atas jalan yang mulus, tetapi pikiranku bergelombang, berusaha memikirkan apa
yang tersembunyi di mixtape ini.
Baca kelakuan si Tobi di bab ini, entah kenapa gue (capek pencitraan pake 'aku' atau 'saya', Dandy....) ingetnya sama Taylor Oakley. Tukang mencemooh orang gitu kan, dia. Tapi susah juga buat gak ketawa sama cemoohan dia. Susah dibenci juga. :D
ReplyDeleteDan, sip. Inciting event di akhir bab.
Kemaren ini, di salah satu podcast, gue denger salah satu pembicaranya yang penulis novel terkenal--tapi kok, gue gak kenal dan gak pernah baca karyanya--bilang dengan santai dan kayak gak punya beban hidup tips menulis dia yang sudah terbukti membuat pembaca kuat membaca novel dia; tiap 25 halaman sekali, jangan lupa kasih inciting event. Naluriah pembaca nyari sesuatu yang menarik setelah jangka sekian halaman dan menurut pengalaman dia; itu 25 halaman.
Berikutnya masalah tiket. Mereka gak beli tiket?
--OctaNH--
Saya mesti googling dulu siapa Taylor Oakley wkwk...
DeleteMakasih banyak buat ilmunya Bu Oktaaaa... Soal tiket itu, setelah saya riset soal Kemang - Cikampek, ternyata cukup lama, dan gak ada Sevel, jadi udah saya edit mereka lewat Kemang Raya dan mampirnya ke Indomaret, belum sampai ke tol cikampeknya :D
Tyler Oakley ding, Dandy. Bukan Taylor Oakley. Gak masuk Taylor's Club dia. :D
DeleteApa cuma saya yang masih ngerasa Amanda terlalu mudah nge-iya-in Tobias ya? :/
ReplyDeletehuhuhuhu.... makasih banyak buat sarannya Atha...
Deletenanti saya pikirkan gimana membuat manda lebih realistis