1
ARES
Tiap
orang memiliki momen tertentu ketika ia mulai menyadari bahwa apa yang selama
ini mereka percayai, apa yang mereka yakini, apa yang mereka anggap benar
ternyata salah, seperti sebuah epifani. Itu yang kusebut dengan sudden realization. Tiap orang pasti
pernah mengalaminya, tetapi tidak semua orang menerima sudden realization tersebut dengan baik. Beberapa orang berusaha
untuk tidak memedulikannya, beberapa orang berusaha untuk menyangkalnya,
beberapa orang berani melepas apa yang mereka percayai dan mulai menerima kebenaran
yang baru. Awalnya aku termasuk ke dalam beberapa orang yang menyangkalnya. Sudden realization juga terjadi di saat
dan di tempat yang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya. Sudden realization-ku terjadi ketika aku
dan Haley bertengkar di depan umum di lapangan parkir Wal-Mart.
Haley tidak seperti cewek-cewek yang
kukencani sebelumnya. Ia bukan seorang cheerleader,
seperti yang orang-orang harapkan dari seorang atlet basket sepertiku. Haley
seorang yang ambisius, tetapi cantik. Aku tak tahu apakah aku menghubungkan
kata “ambisius” dan “cantik” dengan menggunakan kata penghubung yang tepat.
Poinnya adalah Haley berbeda.
Dan aku berharap mengencani gadis
yang berbeda akan membuat sedikit
perubahan dalam diriku, membuatku lebih yakin bahwa semua ini yang kurasakan
hanya fase remaja. Sama seperti jerawat, atau ketika kau memimpikan ibu teman
timmu yang luar biasa cantik. Namun, sepertinya aku salah. Apa yang kurasakan
ini tampaknya bukanlah sebuah fase. Ini seperti direkatkan dengan Surebonder
dan tidak mau lepas.
Heck,
aku bahkan sudah bercumbu dengan Haley berkali-kali.
Aku tak ingat apa yang kami
pertengkarkan sebetulnya. Yang aku ingat hanyalah Haley tiba-tiba menghubungiku
untuk menemaninya membeli sesuatu—jembalang
untuk kebun? Atau sisir? Sesuatu yang terdengar seperti itu. Entahlah. Aku
hanya menurut saja seperti seekor?—seorang?—zombie tak berotak. Bahkan ketika aku baru
saja selesai memarkirkan Meredith (nama F-150-ku. Don’t judge me. I try to be as straight as possible) di depan Wal-Mart,
tiba-tiba saja Haley berteriak dan kata-kata yang berhasil kutangkap adalah, “tidak
peduli”, “egois”, dan “megalomania”. Yup, itu Haley yang kukenal: menggunakan
kata-kata SAT dengan tepat dan akurat.
Tapi aku tak mengerti apa
masalahnya. Itu sebabnya berpacaran dengan cewek itu lumayan melelahkan dan
menguras emosi.
“Kita putus!” Itu kata-katanya yang
terakhir sebelum ia membanting pintu mobilku, merosot turun ke aspal lapangan
parkir yang bersalju, dan pergi begitu saja.
Aku menghela napas. Aku tak tahu
apakah ini karena aku putus untuk yang kesekian kalinya sehingga aku tak
merasakan apa-apa. Rasanya hampa, seperti menembus wormhole. Namun, berpacaran dengan Haley juga terasa hampa kalau
kupikir-pikir. Tiap ciuman yang kami lakukan tidak menciptakan aliran listrik,
tiap erangan dan engahan yang kami teriakkan dari kursi belakang setiap Jumat
malam terasa seperti erangan basa-basi dari pendukung Detroit Pistons. Itu
bukan sesuatu yang membuatmu bergairah. Itu sesuatu yang salah.
Dan itu sebabnya, saat Haley memutuskanku,
aku merasa biasa saja. Justru, aku heran karena tebersit rasa lega dan bebas,
seperti saat pertandingan terakhir di musim dingin ini berakhir, seakan-akan
akhirnya kau tidak perlu bersandiwara atau berpura-pura lagi.
Aku bersandar di kursi kemudi sambil
mengamati Haley dengan cepat-cepat memasuki Wal-Mart. Rambutnya yang cokelat
keriting tertutup salju putih, sementara mantelnya terlihat kebesaran untuk
ukuran tubuhnya yang mungil.
Suara ponsel yang begitu nyaring
membuatku terkesiap. Aku pikir itu Haley yang meneleponku dari dalam dan
menyesal karena telah memutuskanku dan memintaku kembali. Itu pernah terjadi
dua kali sebelumnya dalam hubunganku. Aku tentu saja tidak pernah bisa
menolaknya. Aku sedang dalam misi untuk mengubah diriku, meyakinkan diriku
bahwa aku tidak salah. Setelah aku melihat siapa yang memanggilku melalui layar
ponsel, aku tersenyum.
Suara tembakan dan deru kendaraan
yang memekakkan telinga langsung menghajarku. Aku terpaksa harus menjauhkan
telingaku, lalu tiba-tiba saja terdengar teriakan.
“Ares! Ares! Bung, kau di mana?”
“Sedang berkencan dengan Fallout?”
“Apa? Aku tidak dengar!” teriaknya
lagi.
“Kecilkan volume televisimu,
keparat!” sahutku.
Tiba-tiba saja terdengar suara
kekehan dari ujung sana.
“Di mana kau?” tanyanya sekali lagi.
“Di parkiran Wal-Mart, menangis
karena Haley baru saja memutuskanku.”
“Lagi? Oh, dasar kau kemaluan besar.”
Ejekan semacam itu yang membuat
jantungku sedikit menciut.
“Kenapa kau telepon?”
“Nah, mau menyembuhkan luka hati
dengan bermain Fallout bersama?”
“Apa yang menarik dari menontonmu
bermain? Aku akan datang kalau kau mengizinkanku main setiap satu misi sekali.”
Terdengar erangan dari sana.
“Oke, tapi karena kau baru putus.
Aku akan menjadi sahabat yang baik dan benar dan memperbolehkanmu main sampai
kau mati.”
“Keren, aku akan sampai di sana
dalam lima belas menit lagi.”
“Bawakan aku Ranch Melt dari Subway
selagi kau ada di sana.”
“Yea, yea! Tapi aku mendapat sepuluh
dolar.”
“Dasar kau keparat kecil,” gumamnya
sebelum akhirnya ia menutup telepon.
Aku tersenyum lalu menepuk-nepuk
kemejaku, sebelum akhirnya aku menyalakan Meredith dan memutar menuju ke Subway
yang terletak di ujung pelataran parkir Wal-Mart
Namanya Castor. Dan ialah alasan
kenapa aku mengencani banyak cewek.
Disclaimer:
Bukan, ini bukan fanfiction dari Fallout yang video game. Fallout di sini lebih di makna yang nomor dua: efek samping dari sesuatu. Udah dari lama kepikiran buat bikin cerita LGBT, tapi baru akhir-akhir ini ada waktu dan niat (wkwk padahal nganggur) buat nyoba-nyoba nulis. Awalnya, saya pengen bikin latarnya di Indonesia, tapi saya takut kalau di Indonesia kalimatnya jadi enggak masuk, soalnya saya udah enggak bisa nulis percakapan bahasa Indonesia yang luwes. Kalau saya bikin latar Indonesia, tapi dialognya terjemahan, pasti kedengaran aneh banget.
luv it <3
ReplyDeletehuhuhuhuhuhu.... makasih ya raafi
Delete