Thursday, May 28, 2015

Future Man

BAB 1
SORROW

Don't leave my hyper heart alone on the water
Cover me in rag and bone sympathy
Cause I don’t wanna get over you
The National — “Sorrow”

* * *

Dear Amanda,
Aku akan mengambil barang-barangku dari apartemenmu dan membawa barang-barangmu dari apartemenku. Aku juga akan mengembalikan kunci apartemen dan kunci mobilmu. Terima kasih untuk semua kebaikan yang sudah kauberikan. Sayang sekali hubungan ini tak akan berhasil.

Regan

P.S.: Aku akan menitipkan kunci apartemen dan mobilmu ke satpam apartemenmu. Aku harus sudah siap untuk berangkat ke Bali pukul empat sore nanti untuk meliput Svanati. Belum lagi aku harus mengambil mobilku dari bengkel. Ponselku mati, jadi aku cuma bisa menghubungi lewat Post-It-Note. Sekali lagi terima kasih.

Aku membaca catatan Post-It-Note dengan tulisan tegak bersambung yang luar biasa rapinya itu berulang kali. Seperti yang diharapkan dari seorang Regan Andriawan Sanjaya yang meraih nilai sempurna di pelajaran bahasa Indonesia pada seleksi penerimaan mahasiswa baru Universitas Indonesia—apa itu mungkin? Mendapatkan nilai sempurna di pelajaran bahasa Indonesia, maksudku? Kupikir Regan hanya mengada-ada waktu menceritakannya padaku—tulisan Regan begitu baku dan kaku seperti lap mobil yang kering. Aku menatap kertas Post-It-Note itu sambil mengedip-ngedip tak percaya. Seharusnya aku marah dan merobek-robek kertas mungil berwarna biru itu.

Lantas kenapa aku merasa hampa melihat tulisan tangan Regan itu?

Oh, benar. Ia memutuskanku semalam dan sampai sekarang aku tidak mengerti apa alasannya. Ia hanya muncul di apartemenku pada pukul sepuluh dan berkata sesuatu seperti Manda-kurasa-hubungan-kita-tidak-akan-berhasil atau sesuatu semacam itu dan tepat pada pukul sepuluh lewat tujuh menit, aku resmi menjadi seorang wanita single. Dan Regan pergi meninggalkan apartemenku begitu saja tanpa ada kejelasan lebih lanjut.

Apakah aku merasa sedih?

Tentu saja tidak. Aku bukan seorang wanita yang dramatis dan perasa. Seharusnya aku mengabaikan kertas Post-It-Note itu dan duduk di meja kerjaku, membuka komputer dan software Illustrator lalu mulai memperbaiki image layout untuk majalah The Doppler edisi bulan depan sebelum Fabian, si art director, berteriak-teriak seperti kucing yang terjepit pintu.

Namun, hal yang kusadari berikutnya adalah aku sedang berlari ke toilet dan menutupi wajahku dengan telapak tangan, bersembunyi di salah satu biliknya sambil berharap diriku terisap ke dalam lubang toilet dan terbawa ke Shangri-La. Atau Xanadu. Atau apalah.

Aku tidak sadar berapa lama aku terisak di dalam bilik toilet hingga aku mendengar suara ketukan. Seseorang mengetuk bilik toiletku. Telapak tanganku berlumuran maskara dan wajahku pasti tampak mengerikan. Aku memutuskan untuk mengabaikan ketukan itu dan melanjutkan sesenggukanku.

            “Man?” panggil seseorang itu. Seorang wanita. Uh, tentu saja. Aku tak mungkin berharap akan ada pria yang menyelundup ke dalam toilet wanita, sekalipun itu seorang Regan yang berlutut untuk meminta balikan padaku. Mengingat nama Regan sukses membuatku terisak lagi.

            “Man, buka pintunya, dong!” Ia mengetuk pintu bilik toilet sedikit lebih keras begitu tidak mendengar jawaban apa pun selain isak tangisku yang menyedihkan.

            Suara wanita itu terasa tidak asing.

            “Far?” balasku dengan suara serak. Tanpa sadar aku mengusap wajahku dengan tangan. Oh, baguslah! Wajahku pasti cemong-cemong seperti seorang tentara sekarang.

            “Man,” kata Fara, sahabatku di kantor majalah-musik-neraka dan satu-satunya orang yang membuatku bertahan di tempat ini, selain Regan. Sebelum putus denganku.  “Keluar, dong! Lo enggak perlu sedih karena cowok berengsek macam Regan. Ya ampun! Tuh cowok enggak ada bagus-bagusnya. Kaku banget. Bahasanya sebaku buku angkatan Balai Pustaka. Lo mau nikah sama orang yang ngomongnya kayak Datuk Maringgih? Enggak, kan? Jadi, angkat dagu lo dan bukain pintunya, dong, Man!”

            Sambil terhuyung, aku berdiri dari dudukan toilet dan menggeser selot bilik toilet dengan lemas. Seorang wanita langsing, yang ukuran bajunya beberapa puluh nomor di bawahku, dengan rambut sepunggungnya yang badai hasil ritual khusyuk semenjak subuh, menatapku dengan pandangan iba.

            Ia langsung memelukku erat-erat dan menepuk punggungku dengan lembut seakan-akan aku baru menang lomba siswa teladan dan dia adalah guru pembimbingku.

            “Lo harusnya enggak perlu semerana ini, Man,” katanya. Ia masih memelukku dengan sangat erat, sedikit membuat perasaanku menjadi lebih baik. “Lo bisa nyari cowok lain yang lebih seru dan asyik dan fleksibel dan enggak kaku kayak Regan. Ya ampun! Sekali lagi dia ceramah soal ‘merubah’ atau ‘mengubah’ gue bakalan loncat indah dari gedung ini. Lo pokoknya harus cari cowok yang lain.”

            Aku mendongak dan menatapnya tak percaya.

            “Ya, lo enggak tahu aja rasanya gimana, Far,” sahutku di sela-sela isakku. “Lo kan udah punya tunangan. Sempurna lagi tunangan lo.”

            Fara menghela napas. Aku sanggup merasakan napasnya yang hangat di belakang leherku, membuatku sedikit bergidik.

            “Ya, bener, sih, Man,” ujarnya. “Tapi enggak ada kok yang namanya tunangan sempurna. Kresna ngoroknya luar biasa kenceng sampai bisa bikin orang mati bangkit lagi. Gue enggak tahu apa semua arsitek emang suka ngorok, tapi bukan itu poinnya. Lo harusnya berdiri tegak dan gagah berani dan menganggap Regan itu cowok bego karena mutusin lo. Lo mesti bisa ngebuktiin kalo lo bukan cewek yang lemah, lo bisa melanjutkan hidup tanpa Regan. Kalau begini, lo sama aja ngaku kalau Regan menang.”

            Mudah saja buat Fara berbicara seperti itu. Ia sudah punya seorang tunangan. Dan seandainya Kresna memutuskannya, Fara akan segera mudah mendapatkan penggantinya. Ukuran bajunya saja lebih kecil dariku. Dan wajahnya luar biasa cantik, blasteran Arab dan Padang.

            Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku bisa sesedih. Maksudku, Regan juga bukan pacar pertamaku dan bukan satu-satunya pria di dunia ini. Memang ia lumayan ganteng untuk ukuran pria culun berkacamata, seperti Clark Kent sebelum menjadi Superman. Apalagi keduanya sama-sama bekerja di bidang media. Analogi yang, yah, klise.

            Namun, aku sudah sejak lama selalu menganggap Regan adalah “the one”, seseorang yang kelak akan menjadi ayah dari anak-anakku.

            Ternyata kenyataan memang terasa pahit.

            Dan tanpa terasa aku meneteskan air mata lagi, membenamkan kepala ke bahu Fara. Ia kembali mengusap-usap punggungku dengan lembut.

            “Ya udah, mending lo keluarin semuanya sekarang ini. Tapi lo mesti janji begitu semua drama ini kelar, lo enggak boleh kayak gini lagi. Ayo, dong! Lo Cuma menyia-nyiakan waktu lo buat menangisi cowok yang udah enggak cinta lagi sama lo.”

            Bisa kurasakan daguku mengangguk meskipun sebenarnya lubuk hatiku tidak ingin mengangguk. Tak mungkin ada pria selain Regan yang mau denganku, seorang wanita yang wajahnya berlumuran lunturan maskara.

            “Gue traktir lo Starbucks, deh, waktu makan siang entar.”

            “Lo baik banget, Far,” balasku terbata-bata.

            “Layout lo udah kelar, kan?” tanya Fara tiba-tiba. “Tadi Fabian udah teriak-teriak kayak kucing kejepit pintu di luar.”

            Aku melepaskan diri dari pelukannya. Sambil menelan ludah, sebuah ingatan mengenai revisi layout majalah melayang di dalam kepalaku.

            Sial. Tidak bisakah Regan memutuskanku waktu hari Jumat saja agar aku tak perlu bekerja keesokan harinya?

* * *

Regan dan aku pertama kali bertemu saat aku mulai bekerja di The Doppler, sebuah majalah musik yang cukup populer di negeri ini, tiga tahun yang lalu. The Doppler menyajikan berita musik dan mengulas musisi dalam dan luar negeri yang belum terkenal alias hipster dan hebatnya, The Doppler memiliki angka penjualan yang cukup memuaskan di Indonesia.

            Selepas lulus dari kuliah desain komunikasi visual, Fara yang lebih dahulu bekerja di sini menyuruhku untuk melamar pekerjaan sebagai graphic designer. Aku hanya mencoba-coba saja, tetapi ternyata langsung diterima. Ini sebenarnya pekerjaan yang menyenangkan buatku. Aku suka musik; aku juga suka mendesain. Saat itu, Regan dan aku hanya berkenalan sekilas waktu aku bertemu dengan pegawai yang lain. Regan baru menjadi asisten editor saat itu.

            Jujur saja, awalnya aku tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan pada Regan. Aku justru tergila-gila dengan Andre, sang fotografer yang andal. Senyumnya begitu menawan dan tubuhnya yang tinggi, aku bisa berharap ia bisa memperbaiki gen pendek yang kumiliki suatu saat nanti.

            Itu sebelum aku tahu Andre seorang gay. Harusnya aku tahu. Rambutnya saja sekinclong gelas kristal. Dan itu juga menjelaskan kenapa Fara terkikik-kikik gembira sewaktu aku bercerita padanya kalau aku naksir Andre. Apakah memiliki seorang-pacar-tampan-yang-hetero adalah hal terlarang di negeri ini? Kenapa para gay selalu mengambil stok terbaik pria-pria di Indonesia?

            “Lagi pula, siapa yang butuh cowok, sih, Man?” kata Fara saat itu, masih terekam perkataannya tiga tahun yang lalu dengan sangat jelas di pikiranku—yang membuatku heran sanggup mengingat kejadian tiga tahun yang lalu, sementara aku lupa apa password e-mail yang baru kuganti seminggu yang lalu. “Lihat aja gue sekarang. Single dan bahagia. Mandiri dan berkelas.”

            Yang kuketahui kemudian adalah ia berpacaran dengan Kresna, seorang arsitek muda, tampan, berambut hitam pekat dari Bandung, setahun kemudian. Tahun lalu mereka baru bertunangan dan akan menikah akhir tahun nanti di Bandung. Bicara soal wanita mandiri dan berkelas.

            “Gue ralat omongan gue, Man. Kita butuh cowok buat beli tas Louis Vuitton yang lucu-lucu itu,” sanggahnya sehabis aku menggodanya, tak lama setelah Kresna melamarnya. Pipinya bersemu merah bagaikan buah delima yang matang, yang membuatku iri setengah mati padanya meskipun saat itu aku sudah masih berhubungan dengan Regan.

            Tapi kalau boleh jujur, aku jelas-jelas bahagia mengetahui sahabat baikku sejak masa-masa kuliah yang mengerikan itu akhirnya akan menikah dan mengubah pola pikir bahwa pria itu payah. Meski memang ada saat-saat di mana seorang pria bisa menjadi sangat payah, kupikir kau mengerti maksudku. Aku senantiasa merinding setiap kali membayangkan saat kami berdua menginjak usia lima puluh tahun dan tak ada seorang pun pria—bahkan seorang kakek pun—yang mau melirik kami berdua (atau salah satu dari kami), mengakibatkan kami berdua harus ber-marathon serial Sex And The City setiap malamnya.

            Dan Kresna memang pernah membelikan Fara tas Louis Vuitton. Sungguh sangat beruntung kali.

            Selain Andre, yang sekarang malah menjadi teman baikku dan berusaha mencarikanku seorang pria straight yang tampan, aku belum berhasil menemukan pria lain yang sanggup membuatku tergila-gila. Walau aku sudah berusaha lari-lari cantik di Gelora Bung Karno tiap akhir pekan yang jaraknya luar biasa jauh dari apartemenku yang terletak di Jakarta Selatan, berusaha mencari pria tampan (straight) yang juga sedang jogging, usahaku tetap saja nihil.

            Hingga aku benar-benar berkenalan dengan Regan.

            Maksudku benar-benar berkenalan.

            Regan Andriawan Sanjaya.

            Kejadiannya kira-kira lebih dari dua tahun yang lalu, hampir setahun setelah aku menyadari bekerja di The Doppler adalah keputusan yang salah. Fabian, si bos besar, terkadang bisa terlalu menuntut kubilang. Fara dan aku menjulukinya dengan The Devil Wears Adidas, karena kegemarannya mengenakan running shoes di berbagai acara.

            Saat itu, Fabian sedang mengadakan pesta random entah untuk merayakan apa di sebuah bar bernama Riot’s Tavern, dekat dengan kantor kami di kawasan Kuningan. Fabian memang suka begitu. Ia tiba-tiba saja menggelar pesta untuk para pegawainya dengan alasan yang sedikit mengada-ada, misalnya memperingati Hari Koperasi Indonesia atau merayakan ulang tahun Rihanna.

            Aku sebenarnya sedang tidak mood untuk mengikuti pesta Fabian meskipun aku tahu pesta-pestanya selalu heboh. Namun, Fara menyeretku untuk menemaninya datang. Aku bisa apa kalau sudah menyangkut sahabatku itu? Akhirnya aku datang hanya untuk melihat Fara dan Andre kerasukan dan menari gila-gilaan sambil diiringi lagu Zedd. Benar-benar seorang pengkhianat bangsa.

            Aku hanya duduk-duduk di konter bar, memesan segelas lemon tea, dan melihat kedua orang temanku berkhianat padaku di lantai dansa. Saat itulah, aku baru menyadari ada orang lain yang juga duduk di konter dan asyik mengamatiku.

            “Oh, hei, Man,” sapa Regan. “Enggak ikutan?”

            Ia mengedikkan kepala ke arah lantai dansa, tempat Fara dan Andre semakin kerasukan dan memutar kepala mereka begitu cepat membuatku khawatir kepala mereka bisa lepas.

            “Lagi enggak mood, nih.”

            Regan hanya membentuk huruf ‘o’ melalui mulutnya. Saat itulah, aku baru menyadari bahwa Regan ini lumayan juga. Ia memang lumayan kurus dan mungkin sedikit berotot—aku tidak ingin terlihat terlalu menilai—di balik kemeja lengan pendek yang ia kenakan sekarang, tetapi ia lebih tinggi sekepala dariku, mungkin lebih. Wajahnya ganteng juga di balik kacamata tipis yang selama ini ia kenakan. Kami berdua memang tidak banyak berinteraksi, hanya sesekali saat ia menyetor naskah. Dan ia lebih sering menyetor ke Fara.

            Kami tidak berbicara banyak dan hanya membiarkan musik-musik EDM dari Zedd mengisi keheningan ini.

            “Lo sendiri?” tanyaku berusaha menghilangkan kecanggungan.

            Ia hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang sanggup membuat semua wanita di muka bumi ini saling bunuh untuk melihatnya. Itu menurutku, setidaknya. Regan harus lebih sering tersenyum. Selama ini aku mengira ia seorang hipster berengsek yang selalu bertingkah seakan-akan ia lebih baik dan suci daripada seluruh umat manusia. Namun, ternyata Regan cukup ramah.

            “Yah, enggak ada yang ngajakin gue, sih,” katanya dengan nada yang sedikit usil. Matanya berkilat-kilat nakal di balik kacamatanya.

            Itu barangkali percakapan terlama yang pernah kami berdua lakukan.

            “Kode banget, nih?” balasku.

            “Sialan, ketahuan banget,” katanya sambil menyeringai. Jantungku meloncat keluar.

            “Yah, lo mesti belajar lagi untuk menggunakan kode-kode.”

            Regan hanya tertawa renyah, membuat jantungku berusaha meloncat keluar lagi. Jika aku boleh menuntutnya untuk setiap senyum, tawa, dan cengirannya yang mampu membuatku gagal jantung, barangkali aku sudah menjadi orang kaya sekarang.

            “Seru juga, ya, tapi pestanya Fabian?” tanya Regan.

            “Ya,” teriakku berusaha mengatasi suara musik yang begitu kencang. “Walau gue enggak terlalu suka lagu-lagu yang dimainkan?”

            Aku menunjuk ke atas dengan telunjukku. Hanya Tuhan yang tahu apa yang kutunjuk, tetapi sepertinya Regan paham. Ia mengangkat kedua alisnya ke atas, terlihat tertarik dengan apa yang kukatakan.

            “Oh, ya? Lo suka lagu yang kayak gimana emang?”

            Hmmm. Aku sedang berhadapan dengan salah seorang editor musik yang cukup kondang, dan kupikir waktunya untuk menjaga citraku sebagai wanita yang memiliki selera musik yang bagus.

            “Well, gue suka banget sama The National. Yah, lagu-lagu macam yang mereka bikin gitulah.”

            “Wow! Yang bener?” seru Regan semringah. “Gue juga suka banget sama The National. Favorit lo yang mana emang?”

            Tamat sudah riwayatku. Aku hanya mendengarkan satu album The National.

            “Pink Rabbits?” jawabku dengan nada tak yakin.

            Dan begitulah percakapan kami berdua awalnya hanya membahas mengenai The National, perlahan-lahan aku menyetir pembicaraan ke topik lain untuk menyelamatkan kedangkalanku, sebelum akhirnya topik-topik yang kami bahas mulai menjurus ke topik pribadi.

            “Oh, lo tinggal di Kemang?” tanya Regan. Ia sudah memesan minuman untuk kesekian kalinya kepada sang bartender.

            “Iya, gue tinggal di apartemen orang tua gue. Gue bukan asli Jakarta sebetulnya, tapi kebetulan orang tua gue pernah beli apartemen di Jakarta. Eh, ternyata gue kebetulan kerja di Jakarta makanya gue pakai aja daripada apartemen itu jadi sarang hantu. Lo sendiri?”

            “Gue ngekos di Pasar Minggu. Enggak begitu jauh dari tempat lo.”

            Apa maksud pernyataannya itu? Apakah itu kode lain bahwa Regan ingin mengunjungi apartemenku? Apa aku yang terlalu berlebihan dalam berpikir?

            Percakapan dengan Regan berhasil mengubah pandanganku tentangnya. Ternyata Regan seorang pria yang lucu, menyenangkan, dan ramah.

            Regan juga tampan.

            Dan begitulah. Sejak pertemuan dan percakapan kami berdua malam itu, kami semakin akrab. Tak lama kemudian kami resmi berpacaran, diam-diam mencuri waktu dan tempat untuk public display affection di kantor. Untuk ukuran seorang pria culun yang baru berpacaran dua kali seumur hidupnya, Regan cukup luar biasa. Ciumannya maksudku. Regan sering sekali menginap di apartemenku, mengakibatkan barang-barangnya yang bertebaran di kamarku.

            Hari-hari bersama Regan barangkali merupakan salah satu hari-hari terindah yang pernah terjadi dalam hidupku, selain saat aku lulus dari neraka yang bernama kampus dengan tugas yang berlimpah ruah seperti dosa. Ketika aku lulus dan mendapatkan gelar sarjana desain, aku merasa usiaku sudah bertambah sebanyak sepuluh tahun. Regan mungkin sering bepergian ke luar kota bahkan ke luar negeri untuk meliput konser dan baru kembali ke Jakarta beberapa hari kemudian, tapi setiap kali ia pulang ke Jakarta, itu adalah saat-saat membahagiakan bagiku. Kami menghabiskan waktu berdua hanya dengan berjalan-jalan di kawasan Kota Tua, sambil menikmati kerak telor, dan mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Ia  pernah mengajakku naik mobil ke Pantai Anyer suatu akhir pekan dengan tiba-tiba, menginap di sebuah vila di sana, dan memandang Laut Jawa sambil melihat matahari tenggelam. Kami berdua terus-terusan bergandengan tangan, berpelukan, dan berciuman sepanjang perjalanan itu.

            Awal tahun ini ia mengajakku ke Laneway Festival di Singapura bersama-sama. Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, aku pergi ke festival musik bersama dengan pria yang sangat kucintai. Kami menonton banyak musisi—beberapa dari mereka bahkan tak pernah kudengar namanya, tetapi Regan pasti tahu; ia tahu segalanya—menyusuri panggung satu ke panggung yang lain. Tangan Regan tak pernah lepas dari genggamanku seolah-olah ia takut aku bisa hilang di balik kerumunan orang jika genggamannya lepas sedetik pun. Itu benar-benar manis.

            Sangat manis.

            Semua hal manis yang pernah Regan lakukan padaku.

            Saking manisnya, semua itu terasa seperti mimpi. Apa itu semua mimpi? Apa semua yang Regan lakukan padaku hanya mimpi? Apa pertemuanku dengan Regan hanyalah mimpi?

            Satu hal yang tidak bisa kuterima adalah Regan memutuskanku begitu saja. Tanpa alasan. Paling tidak ia bisa mengucapkan sepatah dua patah kata kenapa ia memutuskanku meskipun alasan itu adalah ada wanita lain di hidupnya. Tapi tidak. Regan hanya berlalu begitu saja. Tanpa alasan. Setelah dua tahun masa-masa indah yang telah kami lalui.

            Aku tahu seharusnya aku tak boleh begini.

            Hanya saja—

            Hanya saja—

            Regan bahkan bukan pacar pertamaku. Ia pacar keempatku, tapi hanya cowok itu seorang yang bisa membuatku seputus asa seperti ini. Namun, Regan-lah pria yang pertama kali memutuskanku.

            Ya Tuhan! Aku harus mendengarkan perkataan Fara. Aku mulai kelihatan menyedihkan.

            Regan, kumohon kembalilah padaku!

            Kembalilah padaku!

* * *

REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN KEMBALILAH PADAKU! REGAN—

            Aku mencoret-coret kertas Post-It-Note di hadapanku dengan kalimat yang sama bagaikan sebuah mantra: Regan kembalilah padaku—yang membuatku sedikit berharap akan berhasil membuat ia kembali karena kemampuan sihir yang kumiliki. Kupikir aku sudah menjelma orang gila, tetapi Regan yang mulai duluan. Maksudku, apa salahku? Aku merasa tidak melakukan kesalahan apa pun, jadi pasti Regan yang salah. Tapi aku bersedia memaafkan apa pun yang telah ia perbuat. Kecuali kalau ia ternyata menggunakan kartu kreditku hingga melebihi limit, tapi itu tidak mungkin. Gajinya lebih banyak satu digit dariku, demi Tuhan!

            Fara melirikku khawatir dari meja kerjanya, beberapa meja jauhnya di sampingku, dan bukannya mengerjakan layout yang harus kami kerjakan untuk majalah edisi bulan depan.

            Saat aku balik meliriknya, ternyata dugaanku salah. Ia terlihat sedang serius menghadapi sesuatu di balik layar monitornya. Namun, setelah mengenal Fara selama beberapa tahun, aku ragu yang ia hadapi sekarang adalah program InDesign yang harusnya ia lakukan sekarang. Aku menduga ia sedang mencari rancangan gaun pernikahannya untuk akhir tahun nanti.

            Bahkan sahabatku sendiri lebih peduli dengan gaun pernikahan Anne Avantie dibanding dengan sahabatnya yang sedang putus cinta.

            Agar bisa melupakan semua perkara soal Regan ini, aku memutuskan untuk membuka komputer di depanku dan mengedit image Sufjan Stevens yang luar biasa tampan. Karena tak ada inspirasi, aku akhirnya membuka Notepad dan mulai mengetik hal-hal acak: daftar belanjaan yang harus kubeli sepulang kantor, lirik lagu Sufjan Stevens, daftar hadiah Natal meskipun Natal masih enam bulan lagi. Apa pun yang bisa kulakukan untuk bisa mengalihkan pikiranku dari Regan.

            Fabian melenggang dengan cantik di depan mejaku dan berusaha mengintip ke balik layar monitorku, berusaha mencari tahu apa yang sedang kukerjakan. Aku buru-buru menutup Notepad dan menampilkan jendela Illustrator.

            “Apaan?” sapaku galak.

            “Jangan lupa itu artikel Sufjan Stevens sama layout-nya udah harus jadi besok Jumat,” katanya.

            “Iya, sekarang masih Senin juga,” jawabku dengan ketus.

            Fabian hanya mengamatiku dengan penuh ketertarikan. Ia lalu menyodorkan secarik saputangan dari saku celana chino-nya dan menyodorkannya kepadaku.

            “Itu masih ada—item-item di pipi,” katanya ragu. “Tenang aja, saputangan gue belum gue pakai kok.”

            Aku mengambil saputangan itu dari Fabian dan mengusapkannya ke pipi.

            “Gue tunggu sampai Jumat,” katanya sekali lagi hingga akhirnya berbalik dan berjalan menuju ruangannya. Di tengah perjalanan, ia berteriak tanpa menoleh, “Abis ini bikin juga layout buat Barasuara!”

            Fabian benar-benar orang yang sinting.

            Aku mengubrak-abrik tumpukan kertas di atas mejaku yang berantakan, berusaha mencari draft artikel Sufjan Stevens yang sudah diberikan padaku. Memang hari Jumat masih lama, tapi aku tak ingin Fabian terus-menerus mendelik dari balik layar komputerku dan menggerecoki dengan keluhan-keluhannya pada hari Kamis. Jadi, aku memutuskan untuk menyelesaikan semua ini sekarang. Daftar belanjaan dan lirik lagu Sufjan Stevens dan hadiah Natal jelas-jelas bisa menunggu.

            Saat membuka laci meja, bertanya-tanya apakah aku menyimpannya di dalam laci, aku menemukan selembar foto yang berhasil membuat mataku berkaca-kaca kembali.

            Itu adalah fotoku dan Regan saat perjalanan kami ke Pantai Anyer dengan naik mobil. Berlatar belakang matahari senja yang terbenam, Regan tanpa kacamata terlihat luar biasa tampan di foto itu. Rambutnya berubah warna menjadi jingga akibat pantulan cahaya matahari yang redup. Ia memeluk pundakku erat-erat sambil mengecup keningku dengan lembut.

            Aku meraba keningku. Masih bisa kurasakan kecupannya di sana.

            Perjalanan itu benar-benar luar biasa. Tak ada angin tak ada sebab, Regan tiba-tiba mengirimiku pesan aneh berupa kode. Regan suka bermain detektif, dan memecahkan kode dan teka-teki merupakan hobi keduanya selain mendengarkan musik. Ketika aku berhasil memecahkan kode itu dan mengirimkannya ke Regan, yang kutahu ia sudah muncul di depan pintu apartemenku lalu menggendongku ke dalam mobilnya dan memacu mobilnya ke Pantai Anyer. Ia bahkan sudah menyiapkan seluruh perlengkapanku di dalam bagasinya.

            Seorang pria turis paruh baya yang tak bersalah menjadi korban pemaksaan kami berdua, memintanya untuk memotret kami dengan kamera Regan. Sang pria yang tak berdosa itu menurut begitu saja.

            “Kalian pasangan yang serasi,” katanya sambil mengintip melalui lubang bidik dan memutar-mutar lensa. Telunjuknya sudah bersiap untuk membidik kami berdua. “Hubungi saya jika kalian nikah nanti.”

            Regan hanya menyeringai sementara aku, merasa hangat di dalam pelukannya, bersemu merah.

            “Sudah,” ujar sang turis. Ia menyodorkan kamera Regan kepada kami dan menunjukkan foto yang ia ambil. “Kalian berdua memang ditakdirkan satu sama lain.”

            Dan lagi-lagi Regan hanya menyeringai. Atau ia hanya tersenyum tipis. Aku tak ingat.

            Apa arti dari senyum tipis itu? Apa itu berarti Regan sudah tahu kalau kami berdua tak akan pernah menikah? Apa ia sudah merencanakan untuk memutuskanku pada satu Minggu malam dan membuatku menangis seharian keesokan harinya di kantor? Apa ia sudah berselingkuh saat itu?

            Oke, soal berselingkuh itu aku hanya mengada-ada.

            Seandainya saja aku bisa mengundang sang turis pria di pernikahanku dengan Regan suatu hari nanti. Ia bahkan sudah menuliskan nomor teleponnya di secari kertas. Pak Teguh yang baik dan ramah, sang turis, yang kami paksa untuk memotret foto mesra kami berdua. Entah bagaimana perasaannya jika ramalannya tentang kami ternyata meleset?

            Aku menatap foto di hadapanku sekali lagi. Tanganku bergetar begitu hebat.

            Baiklah! Sudah cukup, aku tidak bisa lagi seperti ini.

            Sambil menggenggam foto di tanganku dengan sangat erat, kalau tak bisa dibilang meremasnya dengan sadis, aku bangkit dari kursiku dan berjalan menuju ke sudut ruangan ini. Di dekat pot berisi pohon pakis di sudut ruangan, ada sebuah mesin pengancur kertas bertenaga turbo yang berdiri gagah di sana.

            Setelah melihat foto ini untuk terakhir kalinya, aku meletakkan foto itu di atas mesin penghancur kertas. Dengan ragu-ragu. Bagaimanapun juga foto ini menyimpan sejuta kenangan indahku bersama dengan Regan, pria yang telah memutuskanku. Kurasa aku memang harus menyingkirkan semua kenangan bersamanya. Tapi aku masih ragu. Tak adakah kemungkinan kami berdua untuk berbaikan kembali.

            Saat terombang-ambing antara memusnahkan foto itu atau tidak, aku melihatnya. Aku melihat Regan masuk ke ruangan kerjaku! Aku bisa melihatnya dengan jelas, tampan dengan kaus polo dan celana bahannya.

            Pandangan kami bersirobok. Ia menatap mataku.

            Yang ia lakukan membuat mulutku menganga.

            Regan membuang muka.

            Regan. Membuang. Muka. Dari. Hadapanku.

            REGAN. MEMBUANG. MUKA. DARI. HADAPANKU. SEAKAN-AKAN. AKU. INI. HANYA. PAJANGAN. DINDING. YANG. MEMBOSANKAN.

            Ia berjalan begitu saja melewatiku menuju ruangan Fabian, tanpa menyapa atau menunjukkan tanda-tanda ia mengenalku atau apalah, mengira aku hanyalah pegawai baru. Ia melewati mejaku dan masuk ke dalam ruangan Fabian, lenyap ditelan oleh pintu kayu.

            Tanpa sadar aku menyalakan tombol on, membuat mesin penghancur kertas bertenaga turbo itu menyala dan bekerja, melumat setiap atom lembaran foto itu menjadi serpihan-serpihan kertas itu.

            Aku menatap serpihan-serpihan kertas tu. Mata Regan tinggal separo dan aku sangat berharap itu juga terjadi di dunia nyata. Dan mataku kembali panas.

* * *

Hujan deras di tengah bulan Juni mengguyur kota Jakarta sore hari sewaktu aku pulang kerja.

            “Yang bener, deh?” gumamku sambil menembus guyuran air hujan di belakang kemudi. Aku mendongak memandang langit yang mendung. Sekarang masih pukul setengah enam, tetapi langit begitu gelap seperti tengah malam.

            Fara yang duduk di sampingku tidak mengucapkan apa pun. Ia sibuk cekikikan dengan ponselnya. Sungguh wanita yang tidak sensitif di kala sahabatnya sedang patah hati, ia malah mengumbar kemesraan dengan tunangannya.

            Seperti biasa, ketika hujan turun dan jam pulang kantor, jalanan Jakarta akan macet total. Tidak ada satu kendaraan pun yang bisa bergerak, bahkan di jalan tol seperti sekarang ini. Aku mengamati tetesan hujan dan membayangkan Regan yang mungkin juga masih terjebak di Jakarta, tak bisa keluar dari sini.

            Ia akan pergi ke Bali bersama dengan seorang reporter The Doppler untuk meliput Svanati, festival musik terbesar di Asia Tenggara, selama seminggu. Karena anggaran yang terbatas, keduanya terpaksa melintasi Pulau Jawa berdua hanya dengan naik mobil. Seandainya aku dan Regan masih berpacaran, aku mungkin sedang membantunya berkemas-kemas sekarang dan menciumnya dengan lama ketika ia akan berangkat.

            Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap dan segera menekan pedal gas, mengarahkan mobil ke arah Cilandak untuk mengantar Fara ini pulang ke rumahnya.

            “Thanks, ya, Man,” kata Fara begitu keluar dari mobilku. Kresna sudah berdiri memayungi Fara di belakangnya membuat rasa iriku mencuat keluar. Sepertinya Fara memang sengaja melakukannya untuk membuatku kesal. “Kalo lo mau cerita-cerita, kuping gue semuanya buat lo hari ini.”

            Samar-samar aku mendengar suara Kresna, “Kalau kupingmu buat Manda semua, gimana kamu bisa denger rayuanku?” sebelum akhirnya pintu ditutup.

Aku merasa mual.

            Hujan masih turun dengan sangat deras begitu aku memacu mobilku ke arah Kemang. Jalanan juga masih dipadati dengan mobil para pekerja. Aku yakin semuanya pasti kesal dengan hujan yang turun secara tiba-tiba ini. Seharusnya tidak ada hujan di bulan Juni. Atau ada? Dari mana Sapardi Djoko Damono mendapat inspirasinya menulis sajak kalau begitu?

            Saat aku berbelok ke Jalan Prapanca Jaya, mobilku melindas genangan air yang cukup dalam dan memuncratkan kubangan air. Butiran-butiran lumpur cokelat menempel di jendela. Lalu perlahan mobilku mati.

            Aku berusaha menstarter mobil berkali-kali, tetapi tak bisa. Suara klakson mobil yang berisik mulai terdengar. Aku merogoh ke bawah kursi untuk mencari payung, tetapi tidak ada. Sembari menghela napas, aku membuka pintu dan menerjang hujan ke luar.

            Barisan mobil sudah mulai mengantre di belakang mobilku, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki mobil ini. Tetesan-tetesan hujan membasahi rambut dan blusku sementara sepatuku terbenam di dalam kubangan air yang gelap. Hari ini seharusnya tidak bisa lebih buruk lagi.

            Aku tidak tahu harus bagaimana. Jika ada Regan, aku bisa meneleponnya dan memintanya untuk membantuku. Ia selalu tahu apa yang harus dilakukan. Jika saja Regan tidak berangkat ke Bali hari ini. Jika saja Regan tidak putus denganku.

            Seperti menyadari kesulitan yang kualami, sekumpulan tukang ojek di pinggir jalan berlari ke arahku dan bertanya apa yang terjadi.

“Mobilnya mati, Pak,” kataku dengan nada yang terdengar seperti cicitan seekor tikus.

Seorang tukang ojek memberiku payung dan menuntunku untuk menyingkir ke trotoar, sementara sejumlah tukang ojek lainnya mulai mendorong mobilku yang berada di kubangan lumpur dengan susah payah agar bisa memberi jalan ke mobil yang lain.

            Tiba-tiba saja sebuah motor melaju dengan kencang di depanku, memuncratkan genangan air kotor ke wajah dan blusku. Aku sedikit menjerit, dan pegangan payungku terlepas, membiarkan guyuran air hujan kembali membasahi kepalaku.

            Ini merupakan hari terburuk dalam hidupku. Seandainya Regan tidak putus denganku, ini semua tidak akan pernah terjadi. Setengah berlari, aku menyeberang jalan raya menuju trotoar, merasakan air mata dan air hujan bercampur menjadi satu.

* * *

Aku baru masuk ke pelataran parkir apartemenku pukul delapan malam dalam keadaan basah kuyup, kedinginan, dan luar biasa lelah. Untung tukang ojek yang baik hati mau mencarikan montir untuk memperbaiki entah apa yang salah dengan mobilku. Aku yang kesal tidak memperhatikan apa pun yang dikatakan montir, dan hanya mengangguk-angguk saat ia akhirnya menyodorkan kunci mobilku. Tanpa basa-basi aku mulai meloncat masuk ke dalam mobil, menyalakan penghangat, dan menyetir pulang.

            Dengan mood yang luar biasa hancur lebur, aku keluar dari mobil dan menyeret kakiku untuk masuk lift, berharap tidak ada orang lain yang naik lift bersamaku. Aku pasti tampak mengerikan dengan wajah dan baju yang berlumuran lumpur. Aku segera menekan angka lima berulang kali.

            Syukurlah tidak ada orang lain yang naik lift sepanjang perjalanan ke lantai lima. Batinku tidak siap untuk menghadapi kernyitan dari orang-orang yang melihatku. Mereka pasti berpikir aku habis masuk ke dalam selokan atau apa.

            Lorong lantai lima juga sepi, kecuali ada seorang pria yang berdiri tak jauh dari depan pintu kamarku. Mungkin itu pengantar piza yang sedang menunggu tetanggaku membuka pintunya. Tetanggaku seorang komikus, dan awalnya karena sama-sama hidup dari belas kasihan Ptah, dewa kesenian dan kreativitas, kami seharusnya berteman baik. Namun, sepertinya tidak. Rifki, si tetangga, sangat eksentrik, tidak pernah mandi, dan memiliki peliharaan beo yang berisik bernama, Pocky. Tidak, terima kasih, aku lebih baik tidak bertetangga saja.

            Si pria menatapku aneh begitu aku berjalan melewatinya. Sepertinya ia bukan pengantar piza karena ia tidak membawa kardus piza dan ia tidak memakai seragam. Pria itu lumayan tampan dan sepertinya sebaya denganku. Rambutnya hitam acak-acakan dan sedikit basah, pertanda ia juga habis kehujanan. Rahangnya terlihat kukuh, dan tampaknya begitu pula tubuh yang dibalut dengan jaket kulit hitam itu.

            Ya Tuhan, apa, sih, yang aku pikirkan?

            Aku seharusnya masih bersedih memikirkan Regan.

            Sambil mengubek-ubek isi tasku untuk mencari kunci, aku mengamati si pria-asing ganteng melalui sudut mataku. Ia terlihat bingung dan gelisah. Wajah pria itu, jujur saja, terlihat sangat familier meski aku tak tahu dari mana aku pernah melihatnya.

            Saat hendak memasukkan kunci ke lubang kunci, aku mendengar pria itu bersuara.

            “Permisi?” tanyanya. Suaranya tegas dan dalam, seperti—tidak, aku tidak boleh menyebutkan namanya lagi.

            Tanganku menggantung di udara, dan aku menarik kunci itu lalu memasukkannya ke dalam saku. Apakah pria ini seorang pencuri? Kalau iya, ia harus menghadapiku terlebih dahulu sebelum mengambil kunciku. Aku meningkatkan kewaspadaanku.

            “Apa Anda benar Amanda?”

            Aku sedikit terperanjat. Pria ini tahu namaku. Mungkinkah aku pernah bertemu dengannya sebelumnya?

            “Well, ya?” jawabku. “Kamu siapa?”

            Pria itu malah tersenyum cerah seperti matahari, dan entah kenapa membuatku merasa sedikit hangat. Ia membuka tangannya lebar-lebar seakan-akan ingin memintaku untuk memeluknya. Saat aku diam saja dan tidak merespons apa pun, ia menurunkan lengannya, tetapi senyumnya masih menempel di bibirnya.

            “Halo, Mama,” katanya. 

1 comment:

  1. Halooo~ Ini Octa. ^^

    Udah dua bulan belakangan ini, saya ikutan reading along ASOIAF dan pas baca--ini bab satu kali, ya?--tulisan Dandy ini, rasanya kayak dapet dessert setelah makan steak bersama Ramsey Snow. Hahahaaa~

    Ini awalan yang bagus, Dandy. Opening yang gak pake lama dan gak pake ribet, dan gue suka. Soalnya, entah kenapa beberapa waktu belakangan ini, gue baca novel dan--ini mungkin nasib juga, sih--ketemu novel yang pas di opening ngasih backstory gak kira-kira. Jadinya kan, malah puyeng yang baca. Kalo menurut gue, pas di bagian awal ini, udah pas gitu backstory-nya. Gak kebanyakan sampe bikin puyeng dan gak kesedikitan sampe yang baca gak tau letak permasalahannya di mana.

    Cara nulisnya kayak novel terjemahan, ya. Pas mbaca, gue kayak denger suara John Green jadi narator di kepala gue. Hahahaaa.

    Oh, sebelum lupa.

    Bagian tentang musik, album, lagu, EDM, menurut gue itu bagus banget soalnya gue mulai menyadari kalo banyak banget novel yang menyia-nyiakan kesempatan untuk masukin referensi ke dalamnya. Dan kalo diingat-ingat lagi pas gue nonton Gilmore Girls, itu karakternya kan suka banget baca, buku yang lagi dia baca di episod yang lagi gue tonton, besokannya gue cari loh di perpus. Jadinya kayak nge-endorse tapi masih ada hubungan sama karakternya dan buat gue, itu asyik.

    Pengen ngasih cabe deh, Dandy ... tapi belum bisa soalnya sampe sejauh ini, belum ada komplain. Kalo dipaksa, yah, background blog ini diganti gitu. Ada lebih lima blog yang gue tahu pake background ini.

    Terakhir, lanjutkan!

    LANJUTKAN!!!

    Karena pas semua udah selesai ditulis sampe terakhir, kita baru bisa liat gambaran besarnya dan bisa ngasih cabe dengan lebih seksama.

    Oooh, tapi ada satu sih. Ini semacam saran sih, bukan cabe.

    Deskripsi.

    Serius, deh. Taroh cerita di panggung, Dandy. Gambarkan panggungnya. Pas karakternya lagi ngobrol dengan karakter lain, coba deh kasih gesture atau apa gitu yang bikin dia seolah memang bergerak dan bernyawa.

    Jadi, lanjutkan.

    Entah kenapa gue banyak ketemu temen penulis yang bagus tapi gak pernah diterbitkan. Dikau salah satunya. Jadi, it's your turn. Selesaikan dan kirim.

    Oke?

    Ditunggu juga lanjutannya~

    ReplyDelete