Saturday, February 28, 2015

Thursday, February 26, 2015

10 Best Taylor Swift's Songs

Lagu yang baik bukan melulu perkara suara yang indah. Jika saya menilai sebuah lagu hanya dari suara penyanyinya, saya tidak akan pernah menyukai Taylor Swift. Suara Taylor Swift bisa dibilang lemah dan sangat tipis; bergetar ketika ia berusaha mencapai nada-nada tinggi. Namun, bukan itu yang membuat saya jatuh cinta dengan Taylor Swfit. It is her songcrafting ability that makes me admire her the most. Kemampuannya dalam menulis lagu yang membuat saya jatuh cinta padanya. Kemampuannya untuk menangkap jiwa dari cerita hidupnya lalu menuangkannya ke dalam sebuah lagu; itulah yang membuat Taylor Swift ini dicintai para fans-nya, termasuk saya. Rasanya tidak berlebihan jika Taylor Swift merupakan penulis lagu terbaik dibandingkan dengan penyanyi-penyanyi lain sepantarannya. 

For the sake of writing and filling this blog with something, here I present you 10 Best Taylor Swift's Songs. 

10. Taylor Swift - We Are Never Ever Getting Back Together
Cukup mengejutkan ketika Swift memilih We Are Never Ever Getting Back Together sebagai single pertama dari album Red. Red mungkin sedikit berantakan dari segi genre, tetapi akhirnya saya paham mengapa We Are Never Ever Getting Back Together ini dipilih sebagai single pertama. Lagu ini merupakan transisi dari genre country yang menjadi trademark Swift ke ranah pop yang memang ingin Swift coba. Hasilnya tidak mengecewakan. We Are Never Ever Getting Back Together merupakan lagu wajib patah hati. Dan siapa, sih, yang pernah bisa melupakan spoken part pada bagian bridge, yang kata Rolling Stone merupakan penggunaan spoken lyric terbaik pada dekade ini? Like ever.


9. Taylor Swift - Fifteen
Saat Fearless didapuk sebagai Album of the Year pada penghargaan Grammy Awards, saya merasa Fifteen turut mengambil andil pada saat voting dilakukan. Fifteen bisa dibilang merupakan highlight dari Fearless. Lirik Fifteen seperti pop-up storybook menceritakan pengalaman gadis berusia lima belas tahun melawan dunia bersama sahabatnya yang bernama Abigail, yang tak lain nama sahabat Swift sendiri. Melalui lagu ini, Swift berkata bahwa menjadi seorang remaja lima belas tahun itu tak mudah, tetapi banyak hal yang bisa dipelajari dari menjadi remaja, dan banyak hal yang akan terjadi pada umur lima belas tahun, entah menyenangkan ataupun menyedihkan. Cause when you're fifteen and somebody tells you they love you / You're gonna believe them. Fifteen is going to be the age everybody looks forward to and everybody reminisces to. 


8. Taylor Swift - You Belong With Me
You Belong With Me merupakan tonggak kesuksesan Taylor Swift yang sebenarnya. You Belong With Me memang klise, menceritakan seorang cewek yang jatuh cinta pada cowok yang di luar liganya, tetapi sekali lagi Swift dengan sukses mengemasnya dengan lirik-lirik yang imut dan menggemaskan. But she wore short skirts, I wear T-shirts / She's cheer captain and I'm on a bleachers menunjukkan hal yang saling bertentangan, tetapi Swift tahu bahwa tidak selamanya cewek yang mengenakan rok mini atau menjadi kapten pemandu sorak itu merupakan cewek terbaik yang akan dipilih oleh para cowok. Mungkin Kanye West tak setuju dan membuatnya merebut mikrofon Swift saat ia memperoleh penghargaan MTV VMA lima tahun yang lalu. Man, five years ago! 


7. Taylor Swift - Eyes Open
Ketika Taylor Swift mendapat kesempatan untuk mengisi soundtrack The Hunger Games, saya sangat senang karena dua hal yang saya sukai akhirnya bersatu. Ketika Eyes Open keluar, saya merinding. Swift megambil jalur gelap yang memang sesuai dengan tema The Hunger Games. The lyrics practically make my hair stand on end. Liriknya sangat suram dan Swift dengan tepat mampu merangkum beratus-ratus halaman The Hunger Games menjadi beberapa baris saja The tricky thing is yesterday we were just children / Playing soldiers just pretending dreaming dreams with happy ending. Meski demikain, Eyes Open juga memberikan secercah harapan bagi Katniss dan Peeta meski mereka dikelilingi kegelapan.


6. Taylor Swift - New Romantics
Saya ingat membaca sebuah artikel yang mengatakan bahwa Swift sedang tidak ingin membina hubungan romantis semenjak ia putus dengan Harry Styles (mungkin). Katanya menjadi single memberinya banyak kesempatan baru untuk dirinya sendiri. New Romantics sepertinya diciptakan untuk menjadi anthem bagi para jomblo. Dengan komposisi lagu yang mustahil membuat pendengarnya untuk tidak bergerak, New Romantics mengajak para pendengarnya bahwa sendirian itu bukanlah hal yang buruk Heartbreak is a national anthem / We sing it proudly. 


Wednesday, February 25, 2015

ƧINUOUS - Part 3


Alex

Aku tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi sepuluh tahun lalu. Rasanya seperti menderita amnesia. Hanya saja otakku memilih bagian mana yang tidak ingin kuingat. Aku ingat Rosie dan aku berada di hutan kota. Kami memang sering berjalan bersama dengan salah satu orang tua kami, melewati jalur setapak. Sore itu Mr. Witley yang menemani kami. Yang mampu kuingat hanyalah aku membawa batu besar yang luar biasa berat. Satu hal lain yang bisa kuingat adalah Rosie kecil yang ketakutan. Yang membuatku heran adalah aku yakin sekali bagian itu terjadi sebelum aku membawa batu besar.
            Aku memikirkannya karena seseorang melempariku dengan gumpalan foto kopian koran sepuluh tahun yang lalu saat makan siang. Headline besar berada di depannya. ANAK LELAKI DELAPAN TAHUN MEMBUNUH AYAH TEMANNYA. Aku tak perlu pengingat tolol semacam ini. Aku ingat apa yang sudah kulakukan. Si pelaku benar-benar bertekad. Mencari koran sepuluh tahun yang lalu pasti memerlukan usaha yang ekstra.
            Sisa hari ini berlangsung dengan payah. Orang-orang menjauhiku seperti wabah Black Death di kelas Kalkulus. Stuart yang malang mengompol di celananya saat kelas Kimia. Padahal aku hanya melotot padanya karena ia salah mengukur takaran asam hipoklorit. Kelas Psikologi berikutnya juga tak jauh berbeda.
            “Seorang antisosial identik dengan tindakan kriminal, seperti pembunuhan, misalnya.” Mata Mr. Duvall dengan jelas menatapku. Aku ingin mencongkelnya keluar.
            Persetan dengan semua ini. Bagaimana mereka mengizinkan si tolol ini mengajar Psikologi?
            Makan siang juga tak membuatku gembira. Mereka menyajikan open sandwich, tetapi itu terlihat seperti sepotong roti tawar dengan muntahan di atasnya. Ini membuat makanan di juvenile terlihat sangat menggiurkan. Dan itu bukan pujian. Aku membawa muntahan yang disebut makan siang ini keluar. Tak ada seorang pun yang mau duduk dengan pembunuh tentu saja. Aku duduk di meja piknik di bawah pohon willow. Sendirian. Hingga ada orang yang melempariku dengan gumpalan koran.
            Aku menghabiskan makan siangku sambil menggerutu. Seharusnya hari ini tidak bisa lebih payah, bukan?
            Sepertinya aku salah.
            Saat aku mengembalikan nampan makan siang, cowok yang menyiramkan sodanya mengadangku.
            “Hei,” ujarnya.
            Aku memandangnya balik dengan aura mengancam.
            “Tenang, Dude. Aku minta maaf karena telah menyirammu dengan soda,” kata cowok itu. Topi baseball bodohnya masih bertengger di kepalanya.
            “Kau mau apa?”
            Ia menyodorkan tangannya.
            “Aku James,” ujarnya sambil menyeringai.
            Aku meludah ke tanganku dan menggenggam balik tangannya. James mengernyit, tetapi ia masih berusaha keras untuk tersenyum.
            “Lalu?”
            “Yeah, kau tahu aku mengadakan pesta untuk merayakan tahun ajaran baru Jumat besok. Pestanya bakalan hebat. Aku mengundang semua orang. Termasuk cewek-cewek cantik, kau tahu maksudku?” Ia menggaruk-garuk pipinya. “Dan, er, kupikir akan keren kalau kau mau datang. Maksudku, cewek-cewek itu pasti menganggap, well, seorang pembunuh misterius sepertimu keren.”
            Haha. Aku seharusnya sudah bisa bercinta di gudang sapu jika ada satu cewek yang menganggap pembunuh misterius sepertiku keren.
            “Jadi?” ujarnya penuh harap.
            Aku mengangkat bahu.
            “Apa Rosie ikut?”
            “Man, jika aku bilang semua orang diundang, maksudku semua orang pasti akan muncul di sana. Ini sudah menjadi tradisi kau tahu.”
            “Kita lihat saja nanti,” jawabku singkat.
            James menyeringai kembali.
            “Keren. Sampai nanti, Webbe! Sekali lagi, maaf untuk kausmu. Akan kuberi kau kaus baru besok Jumat.”
            “Tidak sabar,” gumamku. James berbalik dan menghampiri teman-temannya. Sekumpulan atlet yang sepertinya terlewat saat pembagian otak. Mereka terlihat seperti sekumpulan manusia Neanderthal dengan tubuh gigantis dan dahi yang maju. Beberapa dari mereka mencuri pandang ke arahku sambil tersenyum tolol.
            Aku menghela napas lalu berjalan menuju kelas Bahasa Inggris Lanjutan.
            Rosie sudah menunggu di depan pintu kelas. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Ia terlihat luar biasa gugup.
            “Ha-hai,” katanya. Suaranya begitu lembut dan menggelitik telingaku. Dadaku berdetak sedikit lebih kencang.
            “Oh, hai, bagaimana kau tahu aku ikut kelas ini?”
            “Kau selalu pintar. Kau sudah membaca buku anak SMA saat kau berumur tujuh tahun.”
            Aku tersenyum. Mungkin senyuman pertama sepanjang hari ini.
            “Kau baik-baik saja?” tanyaku.
            Rosie hanya mengedikkan bahu. Bibirnya menyunggingkan senyum pahit.
            “Maafkan aku,” kataku.
            “Untuk apa?” tanyanya sedikit gemetar.
            “Semuanya. Kesulitan yang kutimbulkan dalam hidupmu.”
            Rosie terperangah. Ia mengecek arlojinya. Itu suatu bahasa tubuh yang orang gunakan untuk mengakhiri percakapan dengan orang lain.
            “Aku harus bergegas ke kelas Inggris-ku. Yang biasa saja. Tidak lanjutan sepertimu.” Rosie tertawa hampa.  “Sampai nanti.”
            Setelah beberapa langkah, aku memanggil namanya.
            Ia berhenti.
            “Ya?” balasnya dengan suara merdu.
            “Kau datang ke pesta James?”
            Rosie menggigit bibirnya.
            “Mungkin. Entahlah. Aku tak terlalu suka keramaian.”
            “Apa kau datang jika aku datang?”
            Air mukanya berubah menjadi pucat.
            “Mungkin.”
            Ia kemudian berbalik dan hilang di balik kerumunan anak-anak lain.

            Mungkin bukan ide yang baik. Itu tadi terdengar seperti ancaman. 

ƧINUOUS - Part 2


Rosie

Aku menelan ludah berkali-kali ketika Alex Webbe dan aku saling berpandangan selama beberapa detik. Ia terlihat sama, tetapi bagaimana mungkin ia juga sekaligus terlihat berbeda? Aku kenal baik rambut pirangnya itu, tak berubah hingga sekarang. Hanya saja sekarang rambut itu panjang dan berantakan. Matanya tetap biru cerah seperti lautan dan aku berpikir aku bisa berenang di dalamnya. Namun, itu bukan juga Alex yang kukenal dulu. Tubuhnya kurus dan pucat, seperti tak pernah terpapar cahaya matahari. Dari kejauhan aku bisa melihat wajahnya kuyu. Aku tak bisa menyalahkannya. Juvenile mungkin telah mencuri secuil kehidupannya.
            Melihat Alex kembali membawa kenanganku kembali ke sepuluh tahun yang lalu. Meski Liz dan Margie sedang bercerita mengenai kencan mereka akhir pekan kemarin, kemunculan Alex seakan-akan membawaku kembali ke rumahnya. Kami begitu akrab dulu. Alex dan aku, kami sering bermain di rumahnya. Mrs. Webbe sering sekali membuatkan kami wafel yang lezat, wafel terenak yang pernah kumakan seumur hidupku. Kami bermain bersama, kami menggambar bersama, pergi berjalan-jalan bersama dengannya.
            Melihat Alex juga membawaku kembali ke ingatan yang kukunci rapat-rapat. Aku memejamkan mata. Aku masih bisa mencium bau tanah yang basah, aku melihat warna merah yang bercampur dengan cokelatnya daun yang gugur, aku kembali mencium bau darah yang anyir. Aku ingat aku berteriak kencang dan tubuh Dad yang tidak bergerak, tergeletak di atas selimut daun. Alex, di sampingku, membawa batu yang terlihat jauh lebih besar daripada tangan mungilnya. Batunya berwarna merah.
            Tiba-tiba saja aku merasa ingin muntah.
            “Hei, Rosie. Kau baik-baik saja?” tanya Liz. Ia terlihat begitu khawatir.
            “Yeah, aku baik-baik saja,” jawabku. “Hanya sedikit lelah karena latihan renang kemarin.”
            Aku menoleh kembali ke arah Alex. Cowok itu lenyap. Aku tak bisa melihatnya di antara ratusan orang yang berjalan terburu-buru ke kelas mereka masing-masing.
            “Kau yakin? Kau cemas karena Alex, kan? Mungkin kita bisa memberi tahu orang tua kita agar bisa dibahas di pertemuan orang tua-guru nanti? Bahwa kita merasa tidak aman?” Margie mengusulkan. Ayahnya seorang psikiater dan seorang yang aktif di perkumpulan orang tua-guru. Jujur saja aku tidak percaya ada orang waras yang mau aktif di perkumpulan semacam itu.
            “Tidak, aku baik-baik saja. Lagi pula, aku yakin mereka sudah mengetahui hal ini sebelumnya,” kataku. Bel berdering. Aku melirik arlojiku. “Oke, aku harus segera ke kelas Jerman. Herr Acker akan mengadakan kuis. Sampai nanti.”
            Aku meninggalkan mereka berdua. Aku bisa merasakan mereka berdua menatap punggungku. Bulu kudukku berdiri.

* * *

Aku berbohong, tentu saja. Herr Acker tidak mengadakan kuis. Ia mengembalikan karangan kami minggu lalu. Ia hanya menggeleng saat memberikan hasil tulisanku yang dipenuhi dengan coretan berwarna merah. Aku selalu lupa untuk mengubah artikel.
            Liz dan Margie belum keluar dari kelas Bahasa Perancis mereka. Karena tidak ingin melihat pandangan cemas mereka, aku memutuskan untuk berjalan langsung ke kelas Kimia.
            Rak-rak berisi tabung kimia tersusun di atas meja. Hanya ada seorang yang duduk di sudut kelas. Alex Webbe.
            Kami kembali berpandangan. Sungguh. Alex terlihat tidak sehat.
            “Hai.”
            Suara itu sangat pelan dan berat dan asing. Terakhir kali aku mendengar suara Alex, suaranya masih tinggi dan belum pecah. Sepuluh tahun berlalu. Aku belum pernah mendengar suaranya lagi hingga hari ini.
            Aku kembali menelan ludah. Aku mengabaikannya dan memutuskan untuk duduk di mejaku. Semenit rasanya seperti bertahun-tahun hingga akhirnya orang lain datang, seorang demi seorang masuk kelas, dan Liz muncul. Aku mengembuskan napas lega. Liz melihatku aneh saat ia duduk di sampingku.
            “Ada apa?”
            “Bukan apa-apa,” jawabku sambil mengenakan jas laboratorium dan kacamata pelindung.
            Mrs. Linden menyuruh kami untuk mereaksikan sejumlah asam dan basa. Berulang kali aku mencuri pandang ke arah Alex. Ia berpasangan dengan Stuart Hoverman, si genius. Stuart tampak menciut di sebelah Alex yang menjulang. Sebagian juga karena Stuart terlihat luar biasa takut. Aku tak akan heran ia akan kencing di celana.
            Aku juga takut.
            Aku takut kehadiran Alex akan membuka kembali ingatan terburuk dalam kepalaku. Ingatan yang sudah kusimpan jauh-jauh ke dalam sudut otak. Ingatan yang seharusnya tak terbuka lagi.
            Seakan merasa diamati, Alex mendongak. Untuk ketiga kalinya sepanjang hari ini, kami saling berpandangan. Ia menyunggingkan senyumnya.
            Aku menciut. Aku bergidik.
            Aku tahu apa yang sebenarnya terjadi sepuluh tahun yang lalu.
            Aku takut Alex kembali karena apa yang kuketahui. 

ƧINUOUS - Part 1

Sinopsis:

Johnston, Illinois. Populasi: 1.236 orang. Sepuluh tahun yang lalu terjadi sebuah insiden. Seorang bocah lelaki berumur delapan tahun membunuh ayah teman baiknya. Tak ada orang yang mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sang bocah lelaki dikirim ke juvenile, sementara teman baiknya diam saja.

Sang bocah lelaki kembali, kali ini berumur tujuh belas tahun. Alex Webbe memutuskan untuk kembali ke kehidupan lamanya. Tentu saja, semuanya tak akan pernah sama lagi. Semua orang tahu, semua orang mengingat. Mereka semua membencinya. Hanya teman baiknya dulu, Rosie Witley, yang mau berbicara padanya. Bagaimana mungkin? Alex-lah yang membunuh ayahnya.

Ketika seorang remaja ditemukan mati, dan Alex pernah terlibat konflik dengannya serta reputasi masa lalunya, seluruh kecurigaan jatuh padanya. Tapi Rosie tahu bukan Alex pelakunya. Bersama dengan Alex, ia berusaha menyelamatkan Alex dari dinginnya penjara. Karena pada akhirnya, hanya Rosie yang mengetahui kejadian sepuluh tahun lalu yang sebenarnya.
_______________________________________________________

Alex

Sialan. Sejauh ini, hari pertama di sekolah berlangsung dengan buruk. Aku seharusnya mendengar perkataan Mom dan Dad. Rencana brilianku untuk kembali ke sekolah publik tidak berlangsung semulus yang kubayangkan.
            Mereka semua memandangiku terang-terangan. Mereka semua menunjukku seperti atraksi kebun binatang. Mereka semua berbisik-bisik, tetapi aku tahu apa yang mereka bisikkan.
            “Apa itu dia? Anak yang membunuh ayah Witley?”
            “Bagaimana mereka membiarkan dia satu sekolah dengan kita? Apa kita aman?”
            “Pergilah, pembunuh!”
            Bisikan-bisikan mereka menemani langkah kakiku di sekolah ini.
            Aku berpikir mungkin para guru akan bersikap lebih lunak dan ramah padaku. Itu yang mereka sumpahkan, kan, saat hendak menjadi guru? Mereka tidak akan membeda-bedakan murid meskipun sang murid seorang pembunuh?
            Namun, sepertinya tidak.
            Setelah Ms. Huggs, sang konselor, memberiku secarik kertas jadwal dan orientasi supersingkat, ia sepertinya tak sabar untuk mengusirku dari ruang kantornya tadi pagi. Aku bisa mendengar helaan napasnya yang lega begitu ia menutup pintu kantornya.
            Jam pertama homeroom. Sama saja. Mr. Watson, guru homeroom-ku, memperkenalkanku di depan kelas dengan enggan. Tak ada seorang murid pun yang mendongak dan memperhatikan depan kelas. Mereka terlihat sibuk dengan entah-apa yang berada di meja masing-masing. Aku menyebut namaku singkat. Mr. Watson melirikku takut. Ia mungkin berpikir aku bisa menghancurkan kepalanya. Sama seperti yang kulakukan sepuluh tahun yang lalu. Pada orang lain, tentu saja. Si keparat iniMr. Watson maksudkumenyuruhku untuk duduk di mana saja dan kemudian memberikan pengumuman. Tak sekali pun ia melihat ke arahku.
            Aku memutuskan untuk duduk di sebelah seorang cowok yang terlihat suram. Rambutnya dicat hitam dengan mata dan bibir yang berwarna gelap pula. Ia terlihat menderita, satu-satunya kesamaan kami. Begitu aku duduk di sampingnya, ia menoleh. Ada tindikan di bibirnya. Ia mendesis seperti ular.
            “Mati kau, pembunuh.”
            Senang berkenalan denganmu juga.
            Aku selalu berpikir bahwa orang-orang sudah lupa. Sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Betapa tololnya diriku. Orang-orang tak akan pernah lupa. Tak peduli seberapa lama aku berada di juvenile. Tak peduli apakah aku sudah nyaris mati karena depresi. Tak peduli apakah aku sudah membusuk di neraka. Mereka tak akan pernah lupa. Fakta bahwa seorang bocah berumur delapan tahun membunuh ayah temannya sendiri tidak akan pernah lenyap dari ingatan penduduk Johnston, Illinois (Populasi: 1.236). Heck, mungkin seluruh penduduk Amerika Serikat. Aku berani taruhan aku bisa menemukan kliping mengenai diriku di perpustakaan kota.
            Sudah hampir setahun aku keluar dari juvenile dan menghirup udara bebas. Awalnya, pandangan keji dari para tetangga membuatku ingin kembali meringkuk ke dalam juvenile. Mom dan Dad, untunglah, tak peduli dan selalu berpikir bahwa putra mereka satu-satunya tidak bersalah. Yang membuatku ingin kembali ke sekolah umum. Yang tentu saja mereka tentang habis-habisan.
            Ini semacam paradoks. Jika mereka merasa aku tak bersalah, seharusnya mereka membiarkanku untuk kembali ke sekolah umum. Sebaliknya, mereka berdua seperti hendak dieksekusi mati saat mendengar rencanaku.
            Beberapa argumen di sana dan di sini. Beberapa bulan. Mereka akhirnya merelakanku pergi. Tanpa syarat. Aku tahu rencanaku untuk kembali bersekolah mampu membuat mereka mati ketakutan. Mereka berkata bahwa aku belum siap untuk menghadapi publik. Aku belum mampu untuk menerima hujatan publik.
            Mungkin aku seharusnya mendengarkan mereka.
            Aku berjalan menuju lokerku setelah kelas homeroom. Kalkulus AP[1]. Seluruh pelajaran matematika di rumah itu akhirnya terbayar lunas.
Ketika aku berada di depan loker, seorang cowok dengan topi baseball terbalik dengan sengaja menumpahkan isi sodanya ke kausku.
            “Hei!” seruku.
            “Persetan kau!” balasnya.
            Aku memberinya jari tengah.
            Dasar keparat. Aku menepuk-nepuk kausku yang basah. Jariku menjadi lengket. Sambil berusaha menahan amarah, aku memutar kombinasi loker dan memasukkan bukuku ke dalamnya. Saat aku membanting pintu loker dan berbalik, aku melihat Rosie.
            Shit! Aku tak akan pernah menyangka ia akan tumbuh menjadi cewek semenarik ini. Ia berjalan bersama dua orang temannya, menertawakan sesuatu. Rosie seakan-akan terlihat berkilau dengan rambut cokelatnya yang bergelombang. Aku melihat wajahnya yang cantik dan sesuatu menegang. Dude, yang benar saja.
            Entah apa yang membuat Rosie mendongak. Kami saling bertatapan. Matanya cokelat, sama persis dengan yang selalu kuingat. Kami hanya berpandangan selama beberapa menit sebelum ia kembali tertawa bersama dengan dua orang teman ceweknya.
            Tentu saja ia tak lupa. Bagaimana ia bisa lupa?
            Bagaimana ia bisa lupa bahwa aku sudah membunuh ayahnya?









[1] AP: Advanced Placement

Introduction

So, hey, I have decided to create my billionth blog. I hope I can fill it up with my words and my stories. I hope it I don't abandon it like my previous millions blogs. (Sorry, Dudes). Sorry, if the template is quite dull. After all, I hate programming and coding with the power of burning sun, and that includes HTML coding; no matter how tempting it is.

Now, let's enjoy the "Mahasiswa Elektro yang Berbudaya" starter pack.