Wednesday, June 3, 2015

Future Man

3
YOU ARE A TOURIST

And if you feel just like a tourist in the city you were born
Then it's time to go
And define your destination
Death Cab For Cutie — “You Are A Tourist”

* * *

Suara ketukan pintu samar-samar membuatku terjaga dari tidurku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan berusaha memutar otakku siapa yang mengetuk pintu pagi-pagi benar. Regan? Sebelum aku ingat kalau Regan sudah putus denganku.

            “Ma, bangun, Ma!” Suara pria yang berat dan serak. “Kita mesti segera berangkat ke Bali.”

            Dalam hati aku mengutuk. Ternyata Tobias bukan sekadar mimpi. Aku membuka mataku lebar-lebar, lalu berusaha meraba-raba nakas kecil di samping tempat tidurku, berusaha mencari ponsel. Layar ponsel menunjukkan pukul setengah lima pagi.

            “Sekarang baru jam setengah lima!” teriakku, melempar bantal ke arah pintu meski aku tahu itu tidak akan membuahkan apa pun.

            “Semakin cepat, semakin baik,” balas Tobias, ia lalu mengetuk pintuku secara bertubi-tubi dan menciptakan kegaduhan yang luar biasa.

            “Iya, iya, gue bangun!” Aku bangkit dari atas kasur. Kakiku menginjak permukaan yang licin. Jaket kulit Tobias. Aku mengangkatnya dan menaruhnya di atas kasur, lalu berjalan membuka pintu kamar.

            Sosok Tobias menjulang tinggi di hadapanku. Rambutnya basah dan tubuhnya menguarkan aroma mentol yang cukup pekat, aroma sabun kesukaan Regan. Mencium baunya saja sudah membuatku merasa merindukannya. Merindukan Regan maksudku. Bukan Tobias.

 Tobias mengenakan kemeja flanel milik Regan dan celana jins yang sama dengan yang ia pakai semalam. Tobias terlihat seperti salinan Regan. Aku kehilangan kata-kata.

            “Kenapa rambut lo basah?” merupakan satu-satunya pertanyaan yang justru meluncur keluar dari mulutku.

            “Karena aku habis mandi?” jawabnya. Ia lalu menarik-narik kemeja flanelnya. “Apa aku boleh pakai baju Papa?”

            “Ya, ya, pakai aja sesuka lo,” sahutku tidak peduli. Sambil mengucek-ngucek mata aku melewati Tobias dan berjalan ke sofa di depan televisi untuk melanjutkan tidur sesi keduaku. “Kita beneran jadi ke Bali, nih?”

            Aku bisa merasakan kehadiran Tobias yang mendekat. Ia lalu mengangkat tanganku sementara tanganku hanya terkulai lemas.

            “Beneran, kita mesti nyusul Papa secepat mungkin!”

            “Tapi gue masih ada banyak kerjaan,” gumamku. “Gue belum minta izin cuti juga.”

            Tobias masih sibuk berkutat untuk membuatku benar-benar terjaga. Ia menarik setiap jengkal lengan dan kakiku agar mau bergerak, tetapi aku hanya bergeming. Tiba-tiba saja aku merasakan tangannya berada di punggungku. Aku membuka mata lebar-lebar dan mata Tobias hanya berjarak beberapa sentimeter dari mataku. Tubuhku juga sedikit terangkat.

            “Lo ngapain?” Aku melotot padanya.

            “Mama harus bangun,” ucapnya kalem.

            Ia hanya tersenyum kecil, sementara aku merasakan pembuluh darah di pelipisku nyaris meledak karena sebal padanya. Ia sungguh benar-benar kurang ajar.

            “Kenapa, sih, lo maksa gue?” Tobias menjatuhkanku kembali ke atas sofa dengan lembut. Aku langsung bangkit dan memandangnya keji, tapi yang dipandangi hanya balik melihatku dengan tatapan tidak bersalah.

            “Mama sendiri yang bilang mau ke Bali.”

            “Gaaah!” teriakku. Aku mencakar-cakar rambutku yang masih berantakan, membuatnya makin berantakan. Seandainya saja aku bisa mencakar-cakar wajah Tobias dan menghilangkan senyuman jahat itu dari bibirnya. Aku berdiri dan masuk kembali ke kamar, membuka lemari baju dan mengeluarkan koper dari sana. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Tobias bersandar di kusen pintu sambil melipat tangannya di depan dada sementara aku mengisi koper dengan seadanya.

            “Mama punya tas ransel atau duffel?” tanyanya setelah aku selesai merapikan isi koper. Aku hanya membawa empat pasang setel pakaian karena aku tak yakin berapa lama aku akan ada di Bali. Aku sendiri juga tak tahu kenapa aku mau mendengar omongan pria sinting ini, tetapi sejujurnya dari dalam lubuk hati aku tahu pergi ke Bali adalah hal yang benar.

            “Coba cari di lemari Regan mungkin dia ninggalin tas gym-nya di situ,” jawabku sekenanya. Tobias lenyap tanpa suara seperti siluman. Setelah cukup puas dengan packing ekstrakilat ini, aku memutuskan untuk mandi.

            Tobias sedang membuat nasi goreng begitu aku selesai berpakaian dan berdandan dan menyeret koperku keluar dari kamar. Baunya sedap, mengingatkanku akan nasi goreng buatan buatan Mama sewaktu aku kecil dulu. Aku duduk di meja makan sambil asyik memandangi Tobias. Tobias yang mengenakan kemeja Regan. Tobias yang terlihat mirip sekali dengan Regan.

            Lamunanku buyar oleh spatula yang nyaris menusuk ke mataku.

            “Bilang ke bos Mama kalau Mama ambil cuti buat seminggu,” katanya, menarik spatulanya kembali. Ia lalu menuangkan nasi goreng dari atas wajan ke piring yang sudah tertata rapi di meja makan.

            “Siapa lo nyuruh-nyuruh gue?” ujarku enggan menyetujuinya, tetapi aku tetap meraih ponselku dan menelepon Fabian. Setelah menunggu suara ringback tone dari Cita Citata, (tentu saja, sungguh sangat khas Fabian), suara Fabian yang serak sehabis bangun langsung mengisi telingaku.

            “Gila kali lo ya bangunin gue jam setengah enam!” teriaknya dengan suara mengantuk, sesekali diselingi dengan suara erangan yang tidak senonoh.

            “Maaf, Fab, tapi gue minta cuti buat seminggu paling lama,” kataku takut-takut. Tobias yang duduk di seberangku mengamati dengan penuh ketertarikan.

            “Ngapain, sih, layout Barasuara lo belum kelar woy!” teriak Fabian. Hanya ia seorang yang masih mampu berteriak-teriak pada pukul setengah enam pagi dengan kekuatan penuh. Aku mendengar suara istrinya, “Kenapa pagi-pagi udah teriak, sih?” Fabian menjawab, “Ini ada anak udik yang mau cuti mendadak.”

            Aku mendengar percakapan antara Fabian dan istrinya, dalam hati merasa kasihan pada istrinya yang harus berhadapan dengan suami penuh drama seperti Fabian.

            “Lo nguping, ya?” Fabian berkata dengan suara menuduh karena aku tak berkata apa pun.

            “Ah, enggak, ngapain juga gue nguping?” balasku defensif.

            “Lo belum jawab kenapa lo mau cuti.”

            “Gue mau ke Bali,” jawabku.

            “Enak banget hidup lo ninggalin kerja buat pelesir ke Bali.”

            “Lo tahu kenapa gue mau ke Bali,” balasku dengan sok misterius.

            Fabian menghela napas.

            “Enggak. Gue enggak tahu,” jawab Fabian sebelum ia melanjutkan, “Ya udah, pergi sono.”

            Aku melonjak gembira.

            “Beneran?”

            “Iya, tapi bawain gue pie susu dua dus,” kata Fabian lagi. “Kalau lo enggak mau gue laporin ke Mbak Sandra karena bolos terus lo dipecat.”

            “Beres. Tolong bilangin ke Mbak Sandra kalau gue ada urusan keluarga yang mendesak dan mesti pergi ke Bali,” kataku, tidak berbohong sepenuhnya. Maksudku ini memang urusan keluarga. Keluarga masa depan, tentunya. Semoga alasan itu bisa diterima Mbak Sandra.

Mbak Sandra merupakan orang HR yang mengurus berbagai macam pembangunan karakter dan menindak pegawai The Doppler yang senang membolos. Judesnya luar biasa, tapi entah kenapa Fabian dan Mbak Sandra bisa menjadi teman baik. Mbak Sandra juga belum menikah. Aku penasaran kenapa.

            “Iya iya entar gue bilang ke Mbak Sandra. Tapi inget pie susu dua dus,” kata Fabian. Ia kemudian menjauhkan mulutnya dan berkata pelan pada istrinya, “Kamu mau oleh-oleh apa dari Bali, Sayang? Ini Manda mau pelesir ke Bali.”

            Aku hanya memutar bola mata.

            “Istri gue mau kaus Barong. Bawain itu juga. Entar gue tuker,” kata Fabian melalui telepon.

            “Siap, Pak Bos! I love you, Fabian.”

            Sesaat sebelum aku hendak menutup telepon, aku mendengar suara Fabian memanggilku, “Man.”

            “Ya?”

            “Kalau Regan bikin lo nangis lagi, bilang ke gue. Entar gue yang hajar.”

            “Kayak lo bisa ngehajar orang aja.”

            “Sialan lo.” Fabian memutus teleponnya, tetapi perkataannya masih terngiang. Kata-katanya membuatku sedikit merasa hangat.

            Tobias sudah menikmati nasi gorengnya duluan. Setelah aku meletakkan ponselku ke atas meja, ia berhenti mengunyah dan bertanya, “Gimana?”

            “Fabian ngebolehin. Puas, kan, lo?” jawabku.

            Walau aku sebal harus pergi dengan Tobias—yang bahkan sampai sekarang aku masih belum bisa memercayai ceritanya—aku merasa senang karena bisa kabur sejenak dari pekerjaan kantor yang memuakkan. Dan pergi ke Bali. Benar-benar pergi ke Bali. Dan bertemu Regan.

            Tobias tidak bisa menyembunyikan senyum semringahnya.

            “Bagus, kita berangkat jam setengah tujuh, ya,” sahutnya singkat. Ia lalu mengedikkan kepalanya ke arah piring nasi goreng di depanku. “Sekarang Mama sarapan dulu.”

            Sambil menggerutu, aku mengambil sendok dan menyuapkan nasi goreng buatan Tobias ke dalam mulut. Nasi gorengnya terasa ... enak. Poin menyebalkannya bertambah satu lagi.

            “Gimana?” tanya Tobias sambil senyum-senyum.

            “Siapa yang ngajarin lo masak?” balasku galak, tetapi tidak sanggup berhenti mengunyah.

            “Mama. Mama yang ngajarin aku masak sebelum aku kuliah biar hemat.”

            Aku memang bisa dibilang lumayan dalam memasak, tetapi aku bahkan tidak pernah berpikir bahwa aku akan membagi ilmu memasakku yang cukup dangkal ini ke anakku nantinya.

            Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Tobias selesai duluan. Ia berdiri lalu mencuci bersih piring kotor dan wajan yang ia gunakan untuk memasak nasi goreng. Sembari mengelap tangannya agar kering, ia bertanya, “Jaketku di mana, Ma?”

            “Di kamar gue. Entar gue yang ambilin,” jawabku.

            Tobias mondar-mandir dengan tidak sabar di depanku, membuatku sedikit terganggu dan tergesa-gesa dalam menghabiskan sarapan yang ia buat.

            “Duduk aja kenapa, sih?”

            Tobias duduk, tapi ia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja makan juga dengan tidak sabar.

            “Kita mesti buruan berangkat,” katanya.

            “Kenapa buru-buru amat, sih? Regan juga bakalan masih seminggu di Bali. Ia juga paling baru mau nyeberang juga sekarang.”

            Setelah menenggak habis segelas air putih, aku berdiri dan berjalan ke kamar untuk mengambil jaket kulit Tobias, kunci mobil, dan kunci apartemen. Tobias sudah mencuci bersih piringku ketika aku melemparkan jaket itu padanya.

            “Tuh jaket lo.”

            Tobias menangkapnya dengan sigap.

            “Oke, makasih, Ma. Sekarang kita sudah siap untuk berangkat,” ujarnya sambil mengangkat tas gym Regan yang berhasil ia temukan. “Mana koper Mama?”

            Aku menunjuk koper hitam yang berdiri di samping sofa dengan daguku. Perjalanan ini benar-benar begitu mendadak dan tidak direncanakan sama sekali. Aku mengedarkan pandangan ke apartemen ini, berusaha mengingat setiap sudutnya. Mungkin jika Tobias orang jahat—dan aku seorang wanita bodoh yang mau saja menuruti ide gilanya—ini adalah terakhir kalinya aku akan melihat apartemen ini, beserta dengan kenangan akan Regan di dalamnya.

            Tobias menyampirkan tas gym di bahunya, mengangkat koperku, dan membungkusnya dengan jaketnya lalu berjalan ke pintu depan sebelum ia menyadari bahwa pintu depan terkunci. Ia berbalik dan memberi tatapan memohon. Untuk pertama kalinya dalam sehari, aku tersenyum. Setelah mematikan lampu dan memastikan kompor sudah benar-benar mati, aku membuka pintu. Udara pagi Jakarta yang masih segar langsung menyambut kami berdua. Aku merapatkan blazer yang kukenakan.

            “Dingin, Ma?” tanya Tobias sambil menghirup udara dalam-dalam. Ia menyeret koperku keluar, sepertinya koperku terlalu berat untuk diangkat, tetapi ia berusaha keras untuk tidak terlihat susah payah. Aku mendengus. Dasar pria sok tangguh.

            Aku mengunci apartemen, melirik ke arah kamar sebelah. Lampunya masih belum menyala. Rifki mungkin belum bangun. Aku berjalan ke arah lift, sementara Tobias menyusul dengan repot di belakangku.

            Kami turun dalam diam. Lobi apartemen yang besar masih sepi. Kesibukan terlihat hanya di bagian kantin penghuni yang mengeluarkan bau kopi dan nasi uduk yang sedap.

            “Mau kopi?” tanyaku pada Tobias yang hanya ia jawab dengan gelengan. “Gue pikir lo mau jajan dulu.”

            Seseorang memanggil namaku saat kami berdua keluar dari lobi dan berjalan menuju pelataran parkir.

            “Mbak Manda, tunggu!”

            Pak Wirya, satpam apartemen, tergopoh-gopoh mendatangi kami berdua. Tangannya memeluk erat kardus berukuran sedang dengan erat-erat.

            “Ini kemarin Mas Regan nitip buat Mbak. Saya kelupaan buat ngasih ke Mbak semalam,” kata Pak Wirya. Ia menyodorkan kardus itu yang langsung diterima oleh Tobias meskipun ia sendiri sudah kerepotan. Pak Wirya memandang menyipit pada Tobias dengan tatapan bertanya-tanya.

            “Oh, ini temenku, Pak Wirya,” jelasku dengan berbohong. Jika aku mengatakan bahwa Tobias adalah anakku, Pak Wirya mungkin akan pingsan di tempat. “Makasih banyak, ya, Pak. Oh, ya, saya mau pergi barangkali seminggu. Tolong titip segala sesuatunya, ya. Nanti saya kasih oleh-oleh, deh.”

            “Beres, Mbak.” Ia berkata sambil menghormat. “Saya lanjut kerja lagi, ya, Mbak.”

            Pak Wirya meninggalkan kami berdua. Aku menoleh ke arah Tobias yang mengerang dan terlihat kerepotan.

            “Udah enggak usah sok kuat, deh,” kataku, lalu mengangkat kardus Regan. Tidak berat. Aku mengintip isinya, sepertinya tumpukan CD dan barang-barangku yang pernah ia pinjam.

            “Itu apa?” tanya Tobias sembari berjalan. Aku celingukan mencari posisi Ford merahku diparkir. Semalam aku benar-benar lelah dan tidak memperhatikan dengan saksama.

            “Paling barang-barang yang dulu pernah dipinjem sama Regan,” jawabku sambil memencet tombol di kunci. Suara alarm yang nyaring terdengar memecah keheningan Jakarta pagi. Mobilku terparkir di sudut lain dari tempat kami berjalan. Kami memutar arah.

            Tas gym dan koperku langsung memenuhi bagasi mobil, tidak meninggalkan ruangan yang cukup untuk kardus Regan.

            “Apa balik ke kamar dulu buat naruh barang ini?” usulku.

            “Kita enggak punya banyak waktu, Ma. Taruh aja di kursi belakang!”

            “Siapa, sih, yang nyuruh kita buru-buru,” omelku, tapi aku sendiri juga enggan berjalan kembali ke kamar. Bisa-bisa aku malah melanjutkan tidur dan tidak jadi pergi.

            Mungkin itu bukan ide yang buruk.

            Tobias langsung mengangkat koper itu, menjatuhkannya di kursi belakang, lalu mengambil kursi penumpang di sebelah kiri.

            Aku hanya menghela napas dan mengambil kursi pengemudi di sampingnya.

            “Kita enggak ada rencana sama sekali, lho,” kataku. Aku menstarter mobil.

            “Tenang aja, Ma. Aku tahu apa yang aku lakukan.”

            Ya, tentu saja.

            Kami meluncur di jalanan Jakarta yang sudah mulai menunjukkan kemacetan. Jalan Kemang Raya dipadati mobil dan motor berpengemudi anak SMA yang sembrono.

            Tobias mengutak-atik radio dan berusaha mencari stasiun radio untuk mengisi keheningan yang tercipta. Ia berulang kali memutar-mutar kenop dengan frustrasi dan mengeluarkan lenguhan kekecewaan saat tidak menemukan stasiun radio yang pas menurutnya. Akhirnya ia berhenti pada stasiun radio yang memutarkan lagu-lagu kekinian.

            “Payah gini, semuanya lagu-lagu zaman dulu,” gerutunya.

            “Ya, jelas dong lo dari masa depan!” sahutku ikut-ikutan naik darah. “Coba cari di kardus Regan. Siapa tahu ada CD yang lo suka.”

            Tobias meraih kardus dari kursi belakang dan memangkunya di depan. Ia terlihat seperti seorang anak kecil yang baru mendapatkan hadiah Natal yang buruk. Satu per satu, Tobias mengeluarkan tumpukan CD yang ia temukan.

            “Hum, kenapa ada teflon dan piring di sini?” tanya Tobias mengintip sisa-sisa isi kardus Regan. “Ada dua kaus sama satu celana legging di sini. Mama nakal, ya.”

            Mukaku memerah seperti kepiting rebus, tetapi Tobias tidak menyadarinya. Pria itu sibuk memilah-milah tumpukan CD yang ia temukan.

            “Hum, Arctic Monkeys, Papa sering cerita sekali soal band ini, tapi mereka bakalan punah di masa depan,” katanya, memberikan penekanan pada kata punah. Ia memasukkan CD hitam dengan tampilan gelombang modulasi amplitudo itu kembali ke kardus.

            “Death Cab For Cutie? Basi. The Beatles? Apalagi,” komentarnya seenaknya. Betapa aku ingin mencekiknya, tetapi tanganku fokus mengendalikan kemudi. Jalanan lumayan ramai dan aku tidak ingin mencelakakan diriku dan mobilku. Hal yang sama tidak bisa kukatakan pada Tobias.

            “Ini apa, Ma?” tanyanya sambil melambaikan beberapa CD yang tidak memiliki tulisan apa-apa di sampul depannya.

            Aku menoleh sekilas dan memori akan Regan kembali menyelimuti pikiranku. Itu adalah mixtape yang khusus Regan buat tiap kali berkencan berdua. Salah satu mixtape itu menemani perjalanan kami ke Pantai Anyer. Mataku kembali terasa panas mengingat perjalanan romantis yang pernah kami buat.

            “Mixtape buatan Regan,” jawabku, berusaha menarik kembali air mataku ke atas.

            “Kalau yang ini juga mixtape?” Ia mengacungkan satu lagi CD. Kali ini tidak polos, tapi ada tulisan Untuk Amanda. Gerigi otakku berdesing. Aku tidak pernah ingat soal mixtape itu. Aku selalu hafal setiap mixtape yang pernah Regan buat, tapi itu sepertinya baru. Lagi pula, Regan tidak pernah menulis apa pun di mixtape-nya. Ataukah mungkin ada yang kelewatan?

            “Sepertinya, iya, tapi gue enggak ingat yang satu itu.”

            Tobias membuka tempat CD itu. Dari sudut mataku aku melihat secarik kertas bertuliskan satu daftar terjatuh di pangkuan Tobias. Ia mengangkatnya dan membaca tulisan di kertas itu.

            “Ini track list,” jawabnya.

            Wow, itu hal yang baru. Regan tidak pernah menulis track list sebelumnya. Apakah ini memang mixtape baru Regan? Apakah ia salah memasukkan CD ini ke kardus yang berisi barang-barangku?

            Aku menangkap tiang yang bertuliskan Indomaret dan memasukkan mobilku ke tempat parkir.

            “Sana beli camilan sama minum!” suruhku, lalu merebut mixtape itu dari tangan Tobias. Ia terperanjat lalu segera keluar dari mobil sebelum ia berhenti mendadak, seakan sedang teringat sesuatu.

            “Ma, aku, kan, tidak bawa uang ke sini,” katanya pelan.

            Aku merenggut dompet dari dalam tasku dan menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan padanya. Tobias menyambut uang itu dengan penuh sukacita meski ia bergumam, “Hebat, aku sekarang kayak anak SD yang minta-minta uang ke ibunya.”

            Setelah Tobias masuk ke Indomaret, aku mulai membaca track list yang ada di dalam mixtape ini. Tulisan tangan Regan yang rapi membuatku kembali rindu padanya.



            Khas Regan. Membuat mixtape dari musisi yang bahkan tidak pernah aku dengar namanya sebelumnya. Sebuah band bernama Someone Still Loves You, Boris Yeltsin? Atau itu judul lagunya?

            Aku membolak-balik kertas tersebut. Nihil. Tak ada coretan apa pun selain tulisan tangan Regan. Mungkinkah ini mixtape yang ingin ia berikan padaku, tetapi ia tak sempat karena sudah putus terlebih dahulu?

            Tiba-tiba saja otakku mengingat kenangan dengan Regan sebelum kami berangkat ke Pantai Anyer. Ia mengirimkan sebuah pesan aneh, dan sebuah petunjuk untuk memecahkannya. Ia mengirim gambar empat buah kotak dengan barisan huruf, dan kata-kata aneh di bawahnya. Mungkinkah ia melakukan hal yang serupa dengan mixtape ini?

            Aku meneliti kembali tulisan tangan Regan, berusaha menangkap petunjuk yang mungkin tersembunyi di sana. Beberapa lagu yang kukenal dan pernah kudengar terlihat tidak saling berhubungan. Potongan-potongan lirik dari lagu-lagu tersebut juga tidak masuk akal. Aku mengacak-acak rambutku saat Tobias menyelinap masuk. Kedua tangannya menenteng dua kantung plastik besar. Ia menyodorkan kembalian padaku dan menutup pintu mobil.

            Tobias mengeluarkan barang belanjaannya: beberapa bungkus keripik kentang, berbotol-botol air mineral dan teh, setengah lusin cokelat batang. Ia menunjukkannya padaku dengan ekspresi yang terlihat sangat puas. Setelah mengambil satu bungkus cokelat, ia meletakkan kantung belanjaan di kursi belakang.

            “Gue pikir ada pesan rahasia di mixtape ini,” kataku sambil melambai-lambaikan CD itu depan Tobias.

            “Oh, ya?” Hanya itu yang mampu ia ucapkan.

            “Yah, mungkin harus gue dengerin dulu,” gumamku, menekan tombol pembuka pemutar CD dan memasukkan mixtape Regan ke sana.

            Suara petikan gitar yang cadas langsung mengisi mobil ini. Beberapa menit kemudian, aku mulai mengenal suara drum, tetapi tidak ada suara orang yang menyanyi. Ini lagu instrumental. Aku meneliti track list lagi. Ini lagu dari Rush. Hanya Tuhan yang tahu siapa dia.

            “Lo tahu Rush?” tanyaku pada Tobias.

            Ia mengangkat bahu.

            “Siapa, sih, yang lebih senior di sini?” katanya.

            Bahkan celaan Tobias tidak membuatku kesal. Ini menunjukkan bahwa aku benar-benar penasaran dengan mixtape Regan. Jika Regan memang benar-benar meninggalkan suatu pesan di sini, mungkinkah itu akan menjelaskan semua ini?

            “Coba lo cari pakai ponsel gue,” ujarku, menyodorkan ponsel ke Tobias, sementara aku mulai menyalakan mobil dan kembali meluncur ke jalanan.

            Butuh waktu beberapa menit agar Tobias bisa menemukan info soal Rush. Ia terlihat sedikit kesulitan mengoperasikan ponselku.

            “Teknologi ponsel seperti ini sudah punah sepuluh tahun yang lalu,” gumamnya sambil mengusap-usap ponselku dengan sadis. “Kami sekarang tidak menggunakan ponsel sebesar ini lagi sekarang. Semuanya sudah berukuran chip di masa depan.”

            “Ya, terserah lo sajalah. Jadi, siapa Rush?”

            “Rush adalah band rock progresif asal Kanada yang beranggotakan Alex Lifeson di gitar, Geddy Lee di vokal, bass, dan keyboard, serta John Rutsey di drum. Mereka terbentuk pada tahun 1968. Wow!” kata Tobias merepet.

            “Sangat tidak membantu, terima kasih banyak. Sekarang gue jadi bertanya-tanya apa lo beneran cumlaude atau enggak,” ujarku sambil memperlambat jalur mobil.

            “Aku beneran cumlaude dan Mama beneran bangga!” sahutnya defensif.

            “Iya, yaelah, kenapa defensif amat, sih?”

            Sementara itu, lagu dari band rock progresif ini sudah berganti. Ada suara dengung aneh di akhir lagunya, sebelum akhirnya track ini berganti. Aku membaca track list. Ini lagu dari 44th Sunset. Satu lagi musisi yang tidak kukenal.

            Mobil melaju di atas jalan yang mulus, tetapi pikiranku bergelombang, berusaha memikirkan apa yang tersembunyi di mixtape ini. 

5 comments:

  1. Baca kelakuan si Tobi di bab ini, entah kenapa gue (capek pencitraan pake 'aku' atau 'saya', Dandy....) ingetnya sama Taylor Oakley. Tukang mencemooh orang gitu kan, dia. Tapi susah juga buat gak ketawa sama cemoohan dia. Susah dibenci juga. :D

    Dan, sip. Inciting event di akhir bab.

    Kemaren ini, di salah satu podcast, gue denger salah satu pembicaranya yang penulis novel terkenal--tapi kok, gue gak kenal dan gak pernah baca karyanya--bilang dengan santai dan kayak gak punya beban hidup tips menulis dia yang sudah terbukti membuat pembaca kuat membaca novel dia; tiap 25 halaman sekali, jangan lupa kasih inciting event. Naluriah pembaca nyari sesuatu yang menarik setelah jangka sekian halaman dan menurut pengalaman dia; itu 25 halaman.

    Berikutnya masalah tiket. Mereka gak beli tiket?

    --OctaNH--

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya mesti googling dulu siapa Taylor Oakley wkwk...

      Makasih banyak buat ilmunya Bu Oktaaaa... Soal tiket itu, setelah saya riset soal Kemang - Cikampek, ternyata cukup lama, dan gak ada Sevel, jadi udah saya edit mereka lewat Kemang Raya dan mampirnya ke Indomaret, belum sampai ke tol cikampeknya :D

      Delete
    2. Tyler Oakley ding, Dandy. Bukan Taylor Oakley. Gak masuk Taylor's Club dia. :D

      Delete
  2. Apa cuma saya yang masih ngerasa Amanda terlalu mudah nge-iya-in Tobias ya? :/

    ReplyDelete
    Replies
    1. huhuhuhu.... makasih banyak buat sarannya Atha...

      nanti saya pikirkan gimana membuat manda lebih realistis

      Delete