Monday, March 2, 2015

ƧINUOUS - Part 4

Rosie


Saat aku tiba di rumah, mobil Ford butut milik Mom sudah terparkir di driveway. Aku masuk dan mendapati Mom sedang duduk di meja makan. Matanya menerawang jauh seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia sedikit tersentak begitu aku memanggilnya beberapa kali.
            “Oh, hai, Rosie? Bagaimana sekolah?” tanya Mom. Ia masih mengenakan blazer. Sepertinya ia juga baru saja tiba di rumah. Aku meletakkan tasku dan duduk di depannya. Mom tidak terlihat seperti biasanya. Aku menyipit dan memandangnya aneh.  
            “Tumben Mom pulang lebih awal? Ada masalah di klinik?” tanyaku, masih menyipit. Mom tidak biasanya pulang lebih awal seperti ini. Mom seorang psikiater. Di tengah-tengah dunia yang menggila seperti, Mom pasti selalu dicari-cari oleh orang yang mengalami kegilaan. Apalagi Mom satu-satunya psikiater di kota sekecil Johnston ini. Jadwal temu Mom biasanya penuh hingga pukul lima sore, dan Mom baru sampai di rumah pukul enam. Bukan suatu hal yang jarang aku menikmati makan malam sendirian. Aku tak pernah mengeluh, sungguh. Pekerjaan Mom-lah yang membuat keluarga kami mampu membayar tagihan-tagihan itu, well, semenjak Dad, well, dibunuh.  
          “Tidak, hari ini aku memang sengaja mengosongkan jadwal agar bisa pulang lebih awal. Sudah lama aku tidak makan malam bersama kalian berdua.”
           “Mana Oliver?” tanyaku.
           “Oh, dia di kamar. Entah apa yang ia lakukan di sana.” Mom tersenyum kecil. Mata kelabunya berkilat-kilat, tampak serasi dengan rambut gelapnya yang mulai diselimuti warna kelabu. Mom mungkin tidak secantik dulu, tapi aku masih bisa melihat sisa-sisa wajahnya yang menarik di balik kerutan di wajahnya. Bekerja keras demi Oliver dan aku sudah pasti sangat melelahkan, membuat Mom terlihat lebih tua; satu hal yang tak pantas ia dapatkan.
           Kami berdua tidak berbicara. Hening. Aku mengamati cahaya menyilaukan dari lampu meja makan yang tergantung. Meski demikian, aku masih bisa merasakan Mom menatapku.
            “Kau tahu,” kataku, menurunkan pandangan agar mampu memandang Mom balik.
            Mom menggigit bibirnya.
            “Kau tahu, tetapi kau tidak memberitahukannya padaku.”
            Mom menghela napasnya.
           “Maafkan aku, Rosie. Sungguh. Aku sudah berusaha menolak agar Alex tak diizinkan untuk kembali ke sekolah umum di pertemuan orang tua dan guru, tetapi mereka semua orang baru di sini. Mereka tidak tahu kekejaman apa yang mampu dilakukan si bajingan kecilmaaf. Mereka tidak tahu, Rosie.” Pada kalimat ini, Mom mulai berkaca-kaca. “Hingga akhirnya Lisa memohon-mohon padaku agar mengizinkan Alex sekolah sambil menangis. Aku tak tega melihatnya seperti itu. Lisa masih teman baikku, dan kejadiannya sudah sepuluh tahun yang lalu. Aku merasa kita harus memberikan anak itu kesempatan kedua dan mulai belajar memaafkannya.”
            Aku terdiam sambil menggigit bibir, sebuah kebiasaan yang kuwarisi dari Mom ketika sedang gugup atau marah.
           “Tapi, Mom, kau tidak memberitahukan apa-apa! Aku baru tahu Alex kembali ke sekolah pagi tadi, sama terkejutnya dengan orang lain.”
         “Maafkan aku, Rosie. Aku takut kau ketakutan dan tak mau ke sekolah. Aku tahu kau yang melihat kejadiannya, dan seharusnya aku memang memberitahumu agar kau lebih siap.”
            Aku berdiri dan mengambil gelas dari dapur dan mengisinya dengan air di wastafel.
         “Sudahlah, lupakan saja, Mom.” Aku kembali berhadapan dengan Mom. “Aku tak mungkin menghindarinya terus-terusan. Kami memiliki beberapa kelas yang sama.”
            Aku memutuskan untuk tidak mengatakan bahwa aku berbicara pada Alex pada hari ini. Mom akan lebih ketakutan jika mengetahuinya. Lagi pula, sepertinya Mom sendiri yang lebih takut pada Alex dibandingkan dengan diriku sendiri. Jujur saja, aku sendiri merasa terkejut saat aku berbicara dengannya tadi siang sebelum kelas Bahasa Inggris. Ada sesuatu hal yang ingin kutanyakan padanya, soal kejadian sepuluh tahun yang lalu, apa yang sebenarnya terjadi. Sebelum Alex muncul, aku tak pernah terlalu memikirkan kejadian itu. Mom menginginkan aku untuk melanjutkan hidup dan tak menoleh ke belakang. Kehadiran Alex membuat kenanganku kembali ke umur delapan tahun. Sesuatu menggangguku dan aku harus berbicara padanya. Namun, keberanianku tak cukup. Menyapanya saja sudah menghabiskan keberanian yang sudah kukumpulkan.
            “Aku bisa menghubungi beberapa gurumu di sekolah jika kau merasa terganggu.”
       “Tak perlu. Kau sendiri yang bilang bahwa Alex pantas mendapatkan kesempatan kedua. Semuanya akan baik-baik saja,” ujarku meyakinkan. Aku berdiri dan menjinjing ranselku. “Aku akan menaruh tasku ke dalam kamar lalu turun dan membantu Mom menyiapkan makan malam. Oke?”
            Mom terlihat tak yakin.
            “Kau yakin?”
           “Tentu, Mom. Lagi pula, apa, sih, yang mungkin terjadi? Alex pasti sudah berubah. Kejadian sepuluh tahun yang lalu tak akan terjadi lagi,” ucapku sambil tersenyum kecut. Aku menaiki tangga menuju kamarku. Mom masih melihatku hingga akhirnya aku tak kelihatan lagi dari pandangannya.
            Sejujurnya aku tak yakin dengan ucapanku sendiri. 

No comments:

Post a Comment