Monday, June 1, 2015

Future Man

2
KIDS OF THE FUTURE

We’ll save the future together
This family’s forever
Jonas Brothers — “Kids of the Future”

* * *

“Hah?” tanyaku, tak yakin mendengar perkataannya barusan. Apa aku baru saja mendengarnya menyebutku dengan mama? Mungkin maksudnya Manda? Aku mengorek-ngorek kupingku.

            “Halo? Mama?” kata pria itu.

            Aku ingin berteriak marah, tetapi suaraku tercekat di tenggorokanku. Apa si lelaki ini sedang bercanda? Apa maksud perkataannya itu? Mama, katanya? Ia pasti sudah gila.

            “Ngaku aja, deh, siapa lo sebenernya? Kalau enggak, gue laporin ke satpam, nih?” Aku memasukkan tangan ke dalam saku, meraba-raba permukaan logam kunci yang dingin. Jika pria ini ternyata berniat macam-macam denganku, aku bisa langsung mencabut kunciku, menusuk matanya, lalu lari secepat mungkin.

            “Aku anak Mama? Kan?” balas pria itu dengan nada tak yakin. Matanya berwarna cokelat ditimpa cahaya lampu lorong yang kekuningan. Ekspresinya sedih, sekaligus terlihat bersalah.

            Jemariku menggenggam kunci dan kakiku bersiap-siap untuk mengambil langkah seribu. Namun, sepertinya pria itu melihat kegelisahanku dan ia mengangkat kedua tangannya ke udara.

            “Tunggu, tunggu. Aku tidak bermaksud jahat,” ujarnya dengan nada sedikit panik. “Mama harus dengerin aku terlebih dulu.”

            “Gue bukan mama lo!” seruku frustrasi. “Kalo lo enggak pergi dalam hitungan tiga, gue bakalan teriak dan gue bakalan lari ke pos satpam di bawah.”

            “Tunggu, Ma! Biar aku jelasin dulu,” ucap lelaki itu. Ia merogoh sesuatu dari jaket kulitnya. Aku sudah bersiap-siap untuk lari jika ternyata itu sepucuk pistol. Namun, pria itu mengeluarkan dua lembar kertas, mengamati keduanya, lalu memasukkan selembar kertas ke dalam sakunya. Ia lalu menunjukkan kertas yang lain kepadaku dengan tangan kanannya. Tangan kirinya masih mengapung di udara.

            Rupanya itu sebuah foto. Aku menyipitkan mata untuk melihat gambar foto itu lebih jelas. Itu foto di sebuah wisuda, seorang pria muda mengenakan toga hitam sedang merangkul seorang wanita paruh baya yang tingginya hanya sebahu si pria. Aku langsung mengenali sosok sang pria tersebut karena ialah sekarang yang berdiri di hadapanku.

            “Mama mau lihat lebih dekat?” Ia berusaha menyodorkan foto itu ke arahku dengan perlahan. Rasa penasaranku mengalahkan keinginanku untuk menyemprotnya lagi karena sudah memanggilku dengan sebutan mama. Namun, aku mendelik ke arah pria itu dengan curiga.

            “Tenang, aku tidak melumuri itu dengan racun. Atau obat bius. Atau virus antraks,” Aku masih mendelik ke arahnya lagi. “Dan juga tidak ada jarum suntik AIDS, demi Tuhan, Mama, jangan terlalu paranoid. Kalau aku ingin membahayakanmu, aku sudah bisa melakukannya dari tadi. Lagi pula aku tampan.”

            Mungkin pria ini benar. Mungkin aku harus berhenti membuka situs-situs hoax seperti itu.

            Tunggu. Apakah tadi ia mengatakan kalau ia tampan?

            Sejenak, ia menjadi kelihatan tidak terlalu tampan buatku.

            Aku merebut foto itu dengan cepat dan mulai melihat objek di dalamnya. Seperti dugaanku, sosok pria di dalam foto itu sekarang berdiri di hadapanku, tidak banyak perubahan yang berarti, selain pria di depanku ini memelihara jenggot-tipis sekarang. Sosok wanita di sampingnya membuatku tertegun. Rambutnya mungkin sudah kelabu, keriput sudah memenuhi wajahnya, tetapi aku mengenal dengan sangat baik wanita itu.

            Itu aku.

            Aku mendongak dan melihat pria itu hanya tersenyum kalem. Ia mulai membuatku sebal. Aku kembali mengamati foto itu lebih teliti dan memperhatikan detail foto itu. Si pria itu mengenakan selempang cumlaude. Hum, poin menyebalkan pria ini bertambah satu lagi. Sebuah spanduk dengan logo Dewa Ganesha membentang di bagian belakang. Aku meneguk ludah saat membaca tulisan yang tercetak di atasnya. Beberapa bagian tertutup oleh kepala si pria jangkung ini, tetapi aku bisa membaca beberapa kata, seperti “WISUDA” dan “TAHUN 2039—”

            “Ini Photoshop, kan? Lo sebenernya dari TV dan lo lagi ngerjain orang-orang dengan bilang kalau lo dari masa depan, kan?” Aku mengembalikan foto itu lalu memandang celingukan ke sekililing lorong lantai lima sambil mencari-cari kamera tersembunyi.

            “Ma, ini beneran. Aku anakmu!” seru pria itu frustrasi.

            “Terus kenapa lo bisa di sini? Jangan bilang lo ke sini pakai mesin waktu karena gue enggak bakalan percaya. Mana ada mesin waktu?” Aku balas berteriak padanya. Aku tak peduli suaraku membuat Rifki keluar dari apartemennya. Malah, aku berharap ia keluar sekarang dan menyelamatkanku dari kondisi ini. Untuk pertama kalinya semenjak aku bertetangga dengannya selama tiga tahun terakhir, aku mengharapkan kemunculan Rifki.

            “Ada mesin waktu.”

            “HAH?” teriakku dengan nada tinggi.

            “Mama pikir kenapa aku pakai selempang cumlaude?” kata pria itu.

            “Jangan bilang lo....”

            Ia tidak melanjutkan.

            “Kalau gitu tunjukin gue, baru gue percaya kalau lo dari masa depan. Walau belum tentu gue percaya kalau lo anak gue.”

            Anakku tidak mungkin seganteng ini, ya Tuhan.

            “Aku enggak bisa. Itu berarti melanggar protokol. Aku bisa membuktikan kalau aku anak Mama. Nama lengkap Mama Amanda Puspita. Karena aku balik ke 25 tahun yang lalu, berarti umur Mama sekarang 25 tahun. Tanggal lahir Mama 13 Oktober.”

            “Lo bisa tahu itu dari Facebook gue dengan gampang.”

            “Er, Mama punya tanda lahir di paha?”

            Aku ingin menampar pria ini.

            Karena sudah tidak tahan lagi, aku langsung mencabut kunci dari saku dan memasukkannya kembali ke lubang kunci. Belum selesai kunci apartemen kuputar, pria itu mengatakan sesuatu lagi.

            “Mama sekarang baru putus dengan Papa.”

            Terdengar bunyi kunci pintu yang terbuka. Aku segera mendorong pintu. Apartemenku yang gelap menyambut kedatanganku. Pria itu berdiri tepat di belakangku.

            “Papaku bernama Regan Andriawan Sanjaya.”

            Aku menutup pintu tepat di wajahnya. Samar-samar aku mendengar erangan kesakitannya, tetapi aku tidak peduli. Aku segera mengunci kembali pintu, dalam hati merutuk kenapa aku tidak memasang gerendel pintu yang tebal dan gembok yang berat untuk melindungi diri dari hal-hal semacam ini. Kata-kata Papa bahwa anak gadis yang tinggal di kota jahat macam Jakarta itu sama saja mengundang bahaya ada benarnya juga. Seharusnya aku tidak meninggalkan kampung halamanku. Napasku sedikit terengah-engah karena gerakan cepat yang betubi-tubi, mulai dari membuka kunci pintu, membuka pintu, dan membantingnya dengan cepat.

            Dari lubang pengintip pintu aku masih bisa melihat bahwa pria asing (yang tampan) itu masih berdiri di depan apartemenku.

            Pertemuan dengannya membuatku lupa bahwa seluruh badanku masih basah kuyup dan aku gemetar kedinginan. Aku segera menyalakan lampu dan AC, mengatur suhunya agar tidak terlalu dingin, lalu menaruh kunci apartemen dan mobil di dalam sebuah mangkuk di dekat pintu.

            Sambil mengusap-usap pelipis, aku melepas sepatu hakku dan melangkah menuju kamar tidur. Tetesan-tetesan air dari pakaianku jatuh membasahi permukaan lantai. Aku menghela napas. Satu pekerjaan lagi yang harus dikerjakan.

            Kupikir Tuhan seperti sedang mengerjaiku hari ini. Setelah ditinggalkan Regan, hari ini tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. Kehujanan, terciprat genangan air, bertemu dengan pria sinting yang mengaku-aku sebagai anakku.

            Aku melempar tasku ke atas kasur dan segera berlari menuju kamar mandi sebelum tetesan air semakin banyak membasahi lantai kamar tidur. Aroma lavender dari kamar mandi langsung membuatku sedikit rileks. Aku segera mengusap tubuhku yang basah, dan melepas pakaian. Aku mengisi bak mandi dengan air panas. Uapnya terasa hangat. Hanya terdengar suara kucuran air beberapa menit kemudian.          

            Tiba-tiba saja aku teringat aku harus memberi tahu Fara soal kemunculan pria sinting ini. Aku kembali memasuki kamar tidur dan mengambil ponsel dari dalam tas.
           
            Lo mesti tahu ada orang aneh berdiri di apartemen gue.

            Setelah menunggu beberapa menit tanpa balasan Fara, aku melempar ponselku. Biasanya Fara tidak pernah lepas dari ponselnya. Ponsel sudah menjadi bagian dari tubuh Fara. Kalau ia tidak membalas dengan cepat seperti ini, pasti ia sedang sibuk bermesraan dengan Kresna.

            Mereka berdua yang belum tinggal serumah saja sudah seperti itu, aku tak sanggup membayangkan bagaimana kalau mereka tinggal serumah setelah menikah nantinya.

            Aku segera kembali ke kamar mandi dan mendapati bak mandi sudah nyaris penuh. Setelah mematikan keran air dan membubuhi air hangat dengan berbagai macam aromaterapi dan sabun yang bisa kutemukan dari dalam kabinet, aku segera mencelupkan diriku ke dalam bak mandi. Air hangat yang nyaman segera menyelimutiku. Aroma kayu manis dan lavender yang wangi tercium samar. Semua kenyamanan ini hampir saja membuatku melupakan segala hal buruk yang terjadi padaku sepanjang hari ini.

            Lalu perkataan pria itu sebelum aku menutup pintu di hadapannya terngiang-ngiang di kepalaku.

            Mama sekarang baru putus dengan Papa. Papaku bernama Regan Andriawan Sanjaya.

            Aku menelan ludah.

            Hal-hal semacam ini bukan sesuatu yang bisa orang lain ketahui dari Facebook, bukan? Maksudku aku dan Regan baru putus kurang dari sehari yang lalu dan hanya ada beberapa orang di kantor yang mengetahuinya. Yah, mungkin lumayan banyak, mengingat aku yang berlari dan menangis dengan dramatis tadi bukanlah pemandangan umum.

            Terlebih lagi, jika ia berkata bahwa papanya bernama Regan, apakah itu berarti aku akan menikah dengan ... Regan?

            Aku mengangkat kaki dan mulai mengusap kakiku yang sudah terendam di air kubangan yang hitam. Kakiku tak akan pernah sama lagi. Saat mengusap paha, aku melihat tanda lahir. Warnanya sedikit lebih gelap dari kulit di sekitarnya dan bentuknya menyerupai peta Australia. Mungkin tanda lahir ini yang akan menuntunku jika aku pergi ke Australia suatu hari nanti. Jika putusnya diriku dengan Regan tidak banyak diketahui orang, tanda lahir ini hanya diketahui oleh tiga orang di muka bumi ini. Empat jika pria asing itu dihitung. Dari mana pria itu tahu soal tanda lahir ini?

            Walau terdengar mustahil, aku mulai percaya bahwa pria itu adalah anakku di masa depan. Maksudku, jika ia memang anakku, kami berdua pasti pernah—entahlah—mandi bersama?

            Entah kenapa mukaku bersemu merah. Sangat tidak perlu.

            Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul sepuluh malam kurang setelah aku selesai mandi dan berpakaian.

Aku mengecek ponsel. Nihil. Fara masih belum membalasku. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku piama kemudian mulai mengepel permukaan lantai yang basah. Seusai menyelesaikan semua pekerjaan rumah yang melelahkan, aku merasa begitu lapar.

            Aku membuka kulkas untuk mengambil telur, lalu mulai memasak roti tawar goreng dengan telur. Saat itulah aku mendengar suara dari depan pintu. Sepertinya aku tahu siapa sumber suara tersebut.

            Setelah mematikan kompor, aku berjalan ke depan dan mengintip melalui lubang pengintip pintu. Tentu saja pria asing itu masih berdiri di sana. Ia bersin lalu mengusap hidungnya. Malam ini pasti cukup dingin apalagi hujan lebat baru saja turun.

            Sambil menimbang-nimbang apakah pria asing itu orang jahat atau bukan, aku masih sibuk mengintipnya. Jika ia orang jahat, tentu saja ia seharusnya sudah membahayakan diriku dari tadi. Namun, aku tidak merasa ia orang yang jahat. Perkataannya mungkin sangat sukar untuk dipercaya, tapi aku merasa ia mengatakan yang sebenarnya.

            Sebelum aku berubah pikiran lagi, aku membuka pintu dan berdiri di kusen pintu. Pria asing itu menoleh, lalu senyumnya kembali merekah. Hidungnya berwarna merah, terlihat kontras dengan kulitnya yang putih.

            “Jadi, apa Mama percaya?” tanya pria itu.

            “Jangan panggil gue mama!” sergahku. “Dan gue masih belum percaya, tapi gue enggak mau nemu mayat cowok yang mati kedinginan di depan apartemen gue besok pagi. Copot jaket lo sebelum masuk! Gue enggak mau lo bawa senjata tajam.”

            Ia melepaskan jaket kulitnya dan membuktikan dugaanku mengenai tubuhnya yang kukuh sebelumnya, memamerkan kaus abu-abu yang ia kenakan. Ia merogoh-rogoh kantung jaketnya dan mengeluarkan dua lembar kertas tadi dan sebuah buku tua yang kertasnya menguning.

            “Aku hanya bawa ini.” Ia menggoyang-goyang barangnya itu. “Ini jurnal untuk mencatat perjalananku di masa lampau.”

            “Bawaan lo cuma itu? Enggak bawa apa pun?”

            “Yah, uang masa depan jelas enggak berlaku di sini, Ma. Lagi pula, sebaiknya tidak membawa banyak barang waktu melakukan perjalan melintasi waktu.”

            Aku tidak mengerti sepatah kata pun ucapannya.

            Saat ia hendak beranjak masuk, aku mengangkat jari telunjukku.

            “Lo nyimpen senjata api di balik kaus atau saku celana jins lo? Gimana kalau pisau di sabuk lo?”

            Pria itu hanya mengangkat alisnya nakal, lalu mulai mengangkat kaus dan menunjukkan sabuk kulit berwarna cokelat dengan gesper logam.

            “Stop, stop. Oke, gue percaya.”

            Pria itu menghambur masuk dengan penuh semangat. Ia lalu mendongak, mengamati langit-langit dan terlihat kagum. Ia memperhatikan vas bunga, meja, televisi layar datar yang menempel di dinding, sofa, dan benda-benda lainnya dengan antusiasme menyerupai anak kecil.

            “Aku suka sekali dekorasi vintage seperti ini,” katanya.

            Tentu saja. Ia, kan, dari masa depan.

            “Tunggu, tunggu, woy! Lo, kalau emang bener dari masa depan, kenapa lo balik ke sini dan mengganggu ketenteraman hidup gue?”

            Ia memandangku sekarang seakan-akan sudah jelas jawabannya.

            “Untuk membuat Mama balikan dengan Papa,” ujarnya enteng, lalu membenamkan dirinya ke dalam sofa.

            “Hah?” teriakku entah untuk yang keberapa kalinya.

            Pria asing itu menghela napas, lalu menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arahku.

            “Hari ini merupakan hari ketika Papa pergi ke Bali buat ngeliput Svanati. Mama sudah sering cerita soal itu padaku. Mama cerita bahwa kalian berdua putus tepat sebelum Papa berangkat ke Bali. Tapi tiba-tiba ada seseorang yang menyuruh Mama untuk menyusul Papa ke Bali dan akhirnya kalian berdua kembali dan menikah, bla bla bla, lalu melahirkanku. Aku mengira seseorang itu mungkin aku, jadi aku memutuskan kembali ke masa lalu dan menjadi penyelamat kisah percintaan Mama.”

            Mulutku menganga. Dari mana orang ini mereka-reka ceritanya?

            “Masih belum percaya kalau aku dari masa depan?”

            “Belum!” teriakku memberontak lalu dengan langkah yang menghentak-hentak, aku berjalan ke dapur dan meniriskan roti tawar dan telur goreng yang kubuat tadi.

            “Apa itu roti telur goreng buatan Mama yang legendaris? Sudah lama aku enggak makan buatan Mama?” Pria asing itu berdiri dari sofa dan berjalan menyusulku. Matanya terpejam sementara ia menghirup udara dalam-dalam. “Boleh aku minta?”

            “Gue bukan mama lo!” Aku mengingatkannya.        

            Mata cokelatnya terlihat mengiba-ngiba. Uh, aku tidak tahan melihatnya. Aku menyodorkan piringku padanya, yang membuatnya melonjak gembira. Berinteraksi dengan pria ini membuatku merasa sangat lelah. Sambil menahan amarah, aku membuka kulkas dan mengambil sebutir telur dan roti tawar lalu mulai memasak lagi.

            Sambil menyantap makanannya, aku melihat pria itu berjalan mengelilingi apartemenku. Ia tampak berminat pada pigura-pigura kecil berisi fotoku bersama Regan dan Fara, tak lupa mengunyah roti telur goreng yang seharusnya menjadi jatahku.

            “Jadi, siapa nama lo?”

            Pria itu menoleh.

            “Tobias Filemon Sanjaya.”

            “Gue enggak akan pernah namain anak gue Tobias, ya ampun!”

            Pria yang mengaku bernama Tobias itu hanya terkekeh.

            “Yes, you did,” katanya. “Orang-orang memanggilku Tobi.”

            “Ya Tuhan,” ucapku spontan. Merasa diamati oleh Tobias, aku segera memusatkan perhatianku ke wajan dan menekan-nekan roti tawar dengan spatula. Aku hanya mendengar denting garpu dan piring yang saling beradu.

            Setelah roti telur gorengku matang, aku menaruhnya di atas piring lalu membawanya ke meja makan. Tobias yang sudah menandaskan roti telur gorengnya, meletakkan piring kotor di atas meja makan, lalu duduk di sampingku.

            “Jadi, Mama harus ke Bali besok,” ucap Tobias kalem.

            “Lo gila!” Aku mengunyah makan malamku dengan sadis, berharap aku bisa melakukan hal yang sama pria ini.

            “Enggak, ini beneran, Ma. Kalau Mama enggak ke Bali, Mama enggak akan pernah balikan dengan Papa yang berarti aku enggak akan pernah lahir di dunia. Kehidupanku di masa depan cukup nyaman dan menyenangkan soalnya.”

            Aku memandang Tobias dengan sinis.

            “Aku juga tahu Mama sebenarnya masih belum merelakan kepergian Papa, bukan? Pergi ke Bali jadi satu-satunya cara agar kalian berdua bisa kembali bersama. Kumohon, Ma. Mama enggak ingin, kan, kehilangan anak sepertiku?”

            Aku memutuskan untuk tidak menggubrisnya.

            Sejujurnya, Tobias benar. Ada beberapa hal yang harus Regan jelaskan padaku. Ia tidak bisa meninggalkanku begitu saja. Aku harus tahu alasannya. Aku harus tahu penyebabnya sebelum akhirnya aku bisa melangkah maju dan berusaha melupakan Regan. Tapi harus pergi ke Bali besok? Kenapa tidak menunggu hingga Regan kembali ke Jakarta saja.

            “Kenapa enggak nunggu Regan balik aja kalau gitu?” tanyaku.

            “Karena semuanya bakalan terlambat,” jawabnya dengan cepat.

            “Apa maksudnya itu? Kenapa lo bisa tahu?”

            “Karena aku dari masa depan, ingat?”

            Tidak. Aku tidak ingat.

            “Tapi gue enggak mungkin tiba-tiba begitu saja ke Bali! Gue bisa digorok sama Fabian.”

            “Siapa Fabian?” tanya Tobias.

            “Bos gue.”

            Tobias menggaruk-garuk dagunya.

            “Ma, tolong percaya sama aku. Mama harus ke Bali besok pagi, nyusul Papa, dan kalian berdua bakalan kembali seperti dulu. Kalian cuma butuh bicara. Jadi, tolong, Ma?”

            Aku merasakan saku celana piamaku bergetar. Pesan dari Fara.

            Orang aneh apaan?

            Aku mengangkat ponsel dan mengambil foto Tobias diam-diam, lalu mengirimnya ke Fara.

            Ganteng. Sokap?

            Dasar ganjen. Lo udah punya Kresna sono hus hus.

            Wow, selamat ya udah move on.

            Pesan terakhir Fara membuatku bertanya-tanya. Sudahkah aku move on? Bahkan perkataan dari orang asing yang mengaku dari masa depan membuatku berpikiran bahwa aku mungkin saja bisa balikan dengan Regan. Aku benar-benar masih mencintai Regan, dan satu-satunya hal yang aku butuhkan adalah penjelasan darinya.

            Apakah aku harus mengikuti perintah dari orang gila ini? Orang yang mengaku-aku anakku dari masa depan?

            “Gue emang butuh penjelasan Regan karena perlakuannya ini bikin gue mati. Mungkin gue emang harus menyelesaikan ini secepet mungkin sebelum gue move on.”

            Tobias tersenyum memaklumi.

            “Gue bakalan pesen tiket pesawat buat ke Bali besok.”

            “Enggak, Mama harus nyusul Papa sama seperti Papa ke Bali. Naik mobil. Mama yang cerita padaku.”

            “Gila! Itu bisa makan waktu berhari-hari! Kenapa harus naik mobil? Lagi pula, kalau emang niatnya mau nyusul harusnya gue pakai transportasi yang lebih cepet, dong.”

            “Ini bakalan beda sama apa yang Mama ceritakan padaku. Aku enggak tahu apakah bakalan ada perubahan di masa depan kalau Mama naik pesawat. Mama tahu butterfly effect, kan?”

            Apakah yang ia maksud film Ashton Kutcher? Jika bukan, aku tidak tahu apa yang ia maksud, tapi aku tidak mau mengakuinya.

            “Fine! Terserah lo aja, gue lelah!” kataku menyuapkan suapan terakhir telur goreng, lalu menumpuk piringku dan Tobias dan mencucinya.

            “Kita berangkat subuh-subuh besok,” ujar Tobias setelah aku selesai mencuci piring dan duduk kembali di kursi makan.

            “Kita?” ulangku.

            “Ya, mana mungkin aku membiarkan Mamaku melintasi Pulau Jawa sendirian. Aku sendiri yang bakal memastikan Mama sampai dengan aman di Bali.”

            “Tunggu. Ini bukan taktik lo buat merampok gue lalu melemparkan gue di Pantura, kan? Gue kasih tahu mobil gue buatan tahun 2008 dan jarang gue servis, jadi lo harus mikir-mikir ulang kalau mau ngerampok gue.”

            “Ma, aku bukan perampok. Aku udah kehabisan cara buat meyakinkan Mama.”

            “Sinting.” Aku menjulurkan lidah padanya.

            Tobias tidak menanggapinya.

            Aku menguap dan menyadari bahwa sekarang sudah pukul setengah dua belas malam. Aku bangkit dan berjalan ke arah pintu dan menguncinya, lalu membawa jaket Tobias serta gerendelan kunci ke dalam kamar.

            “Aku ingin tidur,” kataku sambil menahan kuap, separuh berharap bahwa Tobias hanyalah mimpi dan imajinasi liarku yang begitu mengharapkan Regan kembali.

            “Jaketku mau diapain?” tanya Tobias terlihat gelisah.

            “Buat jaminan kalau lo mau ngapa-ngapain,” balasku. “Di samping dapur ada kamar satu lagi tempat Regan biasa tidur. Di situ ada juga bajunya, pakai aja. Gue kunci pintu kamar gue kalau-kalau lo seorang predator dan mau macam-macam sama gue.”


            “Aku bukan Oedipus.” Aku mendengar gerutuan Tobias sebelum aku menutup pintu dan menguncinya, menjatuhkan jaket Tobias ke lantai, dan tenggelam dalam dekapan kasur yang hangat dan nyaman. 

4 comments:

  1. Oh.. ini toh metropopnya? :DD
    Dih, seriusan baru bab 2? Nanggung padahal XD

    Oke deh. Saya pikir nggak ada masalah sama idenya. saya juga suka banget suasananya. Lucu.
    Omong-omong kenapa pilih "Man" sih? saya jadi aneh bacanya :/ kayak denger "Shut up, Man"-nya Brian. Tapi itu soal rasa aja sih.

    Lanjut dulu nulisnya, Dan :'D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Athaaaa.... Makasih banyak sudah mampir dan sudah berkomen.


      Siap bakalan saya lanjutin sampai kelar.

      Delete
  2. Dandy, maapkan baru komen hari ini.

    Soalnya pas kemaren aku baca bab ini, aku masih gak yakin gimana ceritanya itu si Tobias dan kejadian sebelum ini (yang putus ama Regan), bisa smooth. Jadi aku baca lagi dan akhirnya aku menyimpulkan kalo cukup smooth tapi entah kenapa di bagian awal itu (yang bab-1) masih belum bisa ngebikin aku peduli kenapa mereka putus. Padahal itu kan, intinya ya? Mereka putus dan itu akan berdampak buruk di masa depan. Setidaknya masa depan si Tobi.

    Masalah dengan opening yang biasa aku temuin, aku temuin juga di sini: gimana menakar jumlah yang tepat untuk background story sehingga pembaca jadi peduli dan menganggap bahwa apapun yang terjadi di bab selanjutnya, bab pertama yang dia baca bisa jadi dasar yang kuat untuk terus membaca.

    Apa karena mereka putusnya kurang dramatis ya, Dandy?

    Gak yang berdarah-darah gitu dan si Manda keliatan cukup bisa menerima, ya?

    Tapi itu gak apa-apa sih, Dandy. Bukan masalah besar juga.

    Trus tentang si Tobi, selain foto gak bisa pake cara lain buat ngebuktiin dia dari masa depan apa? Soalnya pas si Manda bilang, "Ini photoshop!" Aku langsung sependapat; sangat mungkin ini photoshop. Misalnya bawa mata uang dari masa depan, kek. Atau dia bawa beberapa alat aneh yang membuat si Manda mau gak mau percaya. Biar greget aja, sih. Soalnya lagi-lagi si Manda percaya aja lagi sama si Tobi.

    Dua bab ini, aku rasa bagus loh, Dandy.

    Lanjut bab 3, yak. ^^

    --OctaNH--

    ReplyDelete
  3. Bu Oktaaaa makasih banyak banget buat masukannya.


    Nanti akan saya tambahin hal-hal yang bisa memperkuat kalo Tobi itu dari amsa depan...

    Sip sip...

    ReplyDelete