Rosie
Aku menelan ludah
berkali-kali ketika Alex Webbe dan aku saling berpandangan selama beberapa
detik. Ia terlihat sama, tetapi bagaimana mungkin ia juga sekaligus terlihat
berbeda? Aku kenal baik rambut pirangnya itu, tak berubah hingga sekarang.
Hanya saja sekarang rambut itu panjang dan berantakan. Matanya tetap biru cerah
seperti lautan dan aku berpikir aku bisa berenang di dalamnya. Namun, itu bukan
juga Alex yang kukenal dulu. Tubuhnya kurus dan pucat, seperti tak pernah
terpapar cahaya matahari. Dari kejauhan aku bisa melihat wajahnya kuyu. Aku tak
bisa menyalahkannya. Juvenile mungkin
telah mencuri secuil kehidupannya.
Melihat Alex kembali membawa
kenanganku kembali ke sepuluh tahun yang lalu. Meski Liz dan Margie sedang
bercerita mengenai kencan mereka akhir pekan kemarin, kemunculan Alex
seakan-akan membawaku kembali ke rumahnya. Kami begitu akrab dulu. Alex dan
aku, kami sering bermain di rumahnya. Mrs. Webbe sering sekali membuatkan kami wafel
yang lezat, wafel terenak yang pernah kumakan seumur hidupku. Kami bermain
bersama, kami menggambar bersama, pergi berjalan-jalan bersama dengannya.
Melihat Alex juga membawaku kembali
ke ingatan yang kukunci rapat-rapat. Aku memejamkan mata. Aku masih bisa
mencium bau tanah yang basah, aku melihat warna merah yang bercampur dengan
cokelatnya daun yang gugur, aku kembali mencium bau darah yang anyir. Aku ingat
aku berteriak kencang dan tubuh Dad yang tidak bergerak, tergeletak di atas selimut
daun. Alex, di sampingku, membawa batu yang terlihat jauh lebih besar daripada
tangan mungilnya. Batunya berwarna merah.
Tiba-tiba saja aku merasa ingin
muntah.
“Hei, Rosie. Kau baik-baik saja?” tanya
Liz. Ia terlihat begitu khawatir.
“Yeah, aku baik-baik saja,” jawabku.
“Hanya sedikit lelah karena latihan renang kemarin.”
Aku menoleh kembali ke arah Alex.
Cowok itu lenyap. Aku tak bisa melihatnya di antara ratusan orang yang berjalan
terburu-buru ke kelas mereka masing-masing.
“Kau yakin? Kau cemas karena Alex,
kan? Mungkin kita bisa memberi tahu orang tua kita agar bisa dibahas di
pertemuan orang tua-guru nanti? Bahwa kita merasa tidak aman?” Margie
mengusulkan. Ayahnya seorang psikiater dan seorang yang aktif di perkumpulan
orang tua-guru. Jujur saja aku tidak percaya ada orang waras yang mau aktif di
perkumpulan semacam itu.
“Tidak, aku baik-baik saja. Lagi
pula, aku yakin mereka sudah mengetahui hal ini sebelumnya,” kataku. Bel
berdering. Aku melirik arlojiku. “Oke, aku harus segera ke kelas Jerman. Herr Acker
akan mengadakan kuis. Sampai nanti.”
Aku meninggalkan mereka berdua. Aku
bisa merasakan mereka berdua menatap punggungku. Bulu kudukku berdiri.
* * *
Aku berbohong,
tentu saja. Herr Acker tidak mengadakan kuis. Ia mengembalikan karangan kami
minggu lalu. Ia hanya menggeleng saat memberikan hasil tulisanku yang dipenuhi
dengan coretan berwarna merah. Aku selalu lupa untuk mengubah artikel.
Liz dan Margie belum keluar dari
kelas Bahasa Perancis mereka. Karena tidak ingin melihat pandangan cemas
mereka, aku memutuskan untuk berjalan langsung ke kelas Kimia.
Rak-rak berisi tabung kimia tersusun
di atas meja. Hanya ada seorang yang duduk di sudut kelas. Alex Webbe.
Kami kembali berpandangan. Sungguh.
Alex terlihat tidak sehat.
“Hai.”
Suara itu sangat pelan dan berat dan
asing. Terakhir kali aku mendengar suara Alex, suaranya masih tinggi dan belum
pecah. Sepuluh tahun berlalu. Aku belum pernah mendengar suaranya lagi hingga
hari ini.
Aku kembali menelan ludah. Aku
mengabaikannya dan memutuskan untuk duduk di mejaku. Semenit rasanya seperti bertahun-tahun
hingga akhirnya orang lain datang, seorang demi seorang masuk kelas, dan Liz
muncul. Aku mengembuskan napas lega. Liz melihatku aneh saat ia duduk di
sampingku.
“Ada apa?”
“Bukan apa-apa,” jawabku sambil
mengenakan jas laboratorium dan kacamata pelindung.
Mrs. Linden menyuruh kami untuk
mereaksikan sejumlah asam dan basa. Berulang kali aku mencuri pandang ke arah
Alex. Ia berpasangan dengan Stuart Hoverman, si genius. Stuart tampak menciut
di sebelah Alex yang menjulang. Sebagian juga karena Stuart terlihat luar biasa
takut. Aku tak akan heran ia akan kencing di celana.
Aku juga takut.
Aku takut kehadiran Alex akan
membuka kembali ingatan terburuk dalam kepalaku. Ingatan yang sudah kusimpan
jauh-jauh ke dalam sudut otak. Ingatan yang seharusnya tak terbuka lagi.
Seakan merasa diamati, Alex
mendongak. Untuk ketiga kalinya sepanjang hari ini, kami saling berpandangan. Ia
menyunggingkan senyumnya.
Aku menciut. Aku bergidik.
Aku tahu apa yang sebenarnya terjadi
sepuluh tahun yang lalu.
Aku takut Alex kembali karena apa
yang kuketahui.
No comments:
Post a Comment