Sinopsis:
Johnston, Illinois. Populasi: 1.236 orang. Sepuluh tahun yang lalu terjadi sebuah insiden. Seorang bocah lelaki berumur delapan tahun membunuh ayah teman baiknya. Tak ada orang yang mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sang bocah lelaki dikirim ke juvenile, sementara teman baiknya diam saja.
Johnston, Illinois. Populasi: 1.236 orang. Sepuluh tahun yang lalu terjadi sebuah insiden. Seorang bocah lelaki berumur delapan tahun membunuh ayah teman baiknya. Tak ada orang yang mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sang bocah lelaki dikirim ke juvenile, sementara teman baiknya diam saja.
Sang bocah lelaki kembali, kali ini berumur tujuh belas tahun. Alex Webbe memutuskan untuk kembali ke kehidupan lamanya. Tentu saja, semuanya tak akan pernah sama lagi. Semua orang tahu, semua orang mengingat. Mereka semua membencinya. Hanya teman baiknya dulu, Rosie Witley, yang mau berbicara padanya. Bagaimana mungkin? Alex-lah yang membunuh ayahnya.
Ketika seorang remaja ditemukan mati, dan Alex pernah terlibat konflik dengannya serta reputasi masa lalunya, seluruh kecurigaan jatuh padanya. Tapi Rosie tahu bukan Alex pelakunya. Bersama dengan Alex, ia berusaha menyelamatkan Alex dari dinginnya penjara. Karena pada akhirnya, hanya Rosie yang mengetahui kejadian sepuluh tahun lalu yang sebenarnya.
_______________________________________________________
Alex
Sialan. Sejauh ini, hari pertama di sekolah berlangsung dengan buruk. Aku seharusnya mendengar perkataan Mom dan Dad. Rencana brilianku untuk kembali ke sekolah publik tidak berlangsung semulus yang kubayangkan.
Mereka semua memandangiku terang-terangan. Mereka semua menunjukku seperti atraksi kebun binatang. Mereka semua berbisik-bisik, tetapi aku tahu apa yang mereka bisikkan.
“Apa itu dia? Anak yang membunuh ayah Witley?”
“Bagaimana mereka membiarkan dia satu sekolah dengan kita? Apa kita aman?”
“Pergilah, pembunuh!”
Bisikan-bisikan mereka menemani langkah kakiku di sekolah ini.
Aku berpikir mungkin para guru akan bersikap lebih lunak dan ramah padaku. Itu yang mereka sumpahkan, kan, saat hendak menjadi guru? Mereka tidak akan membeda-bedakan murid meskipun sang murid seorang pembunuh?
Namun, sepertinya tidak.
Setelah Ms. Huggs, sang konselor, memberiku secarik kertas jadwal dan orientasi supersingkat, ia sepertinya tak sabar untuk mengusirku dari ruang kantornya tadi pagi. Aku bisa mendengar helaan napasnya yang lega begitu ia menutup pintu kantornya.
Jam pertama homeroom. Sama saja. Mr. Watson, guru homeroom-ku, memperkenalkanku di depan kelas dengan enggan. Tak ada seorang murid pun yang mendongak dan memperhatikan depan kelas. Mereka terlihat sibuk dengan entah-apa yang berada di meja masing-masing. Aku menyebut namaku singkat. Mr. Watson melirikku takut. Ia mungkin berpikir aku bisa menghancurkan kepalanya. Sama seperti yang kulakukan sepuluh tahun yang lalu. Pada orang lain, tentu saja. Si keparat ini—Mr. Watson maksudku—menyuruhku untuk duduk di mana saja dan kemudian memberikan pengumuman. Tak sekali pun ia melihat ke arahku.
Aku memutuskan untuk duduk di sebelah seorang cowok yang terlihat suram. Rambutnya dicat hitam dengan mata dan bibir yang berwarna gelap pula. Ia terlihat menderita, satu-satunya kesamaan kami. Begitu aku duduk di sampingnya, ia menoleh. Ada tindikan di bibirnya. Ia mendesis seperti ular.
“Mati kau, pembunuh.”
Senang berkenalan denganmu juga.
Aku selalu berpikir bahwa orang-orang sudah lupa. Sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Betapa tololnya diriku. Orang-orang tak akan pernah lupa. Tak peduli seberapa lama aku berada di juvenile. Tak peduli apakah aku sudah nyaris mati karena depresi. Tak peduli apakah aku sudah membusuk di neraka. Mereka tak akan pernah lupa. Fakta bahwa seorang bocah berumur delapan tahun membunuh ayah temannya sendiri tidak akan pernah lenyap dari ingatan penduduk Johnston, Illinois (Populasi: 1.236). Heck, mungkin seluruh penduduk Amerika Serikat. Aku berani taruhan aku bisa menemukan kliping mengenai diriku di perpustakaan kota.
Sudah hampir setahun aku keluar dari juvenile dan menghirup udara bebas. Awalnya, pandangan keji dari para tetangga membuatku ingin kembali meringkuk ke dalam juvenile. Mom dan Dad, untunglah, tak peduli dan selalu berpikir bahwa putra mereka satu-satunya tidak bersalah. Yang membuatku ingin kembali ke sekolah umum. Yang tentu saja mereka tentang habis-habisan.
Ini semacam paradoks. Jika mereka merasa aku tak bersalah, seharusnya mereka membiarkanku untuk kembali ke sekolah umum. Sebaliknya, mereka berdua seperti hendak dieksekusi mati saat mendengar rencanaku.
Beberapa argumen di sana dan di sini. Beberapa bulan. Mereka akhirnya merelakanku pergi. Tanpa syarat. Aku tahu rencanaku untuk kembali bersekolah mampu membuat mereka mati ketakutan. Mereka berkata bahwa aku belum siap untuk menghadapi publik. Aku belum mampu untuk menerima hujatan publik.
Mungkin aku seharusnya mendengarkan mereka.
Aku berjalan menuju lokerku setelah kelas homeroom. Kalkulus AP[1]. Seluruh pelajaran matematika di rumah itu akhirnya terbayar lunas.
Ketika aku berada di depan loker, seorang cowok dengan topi baseball terbalik dengan sengaja menumpahkan isi sodanya ke kausku.
“Hei!” seruku.
“Persetan kau!” balasnya.
Aku memberinya jari tengah.
Dasar keparat. Aku menepuk-nepuk kausku yang basah. Jariku menjadi lengket. Sambil berusaha menahan amarah, aku memutar kombinasi loker dan memasukkan bukuku ke dalamnya. Saat aku membanting pintu loker dan berbalik, aku melihat Rosie.
Shit! Aku tak akan pernah menyangka ia akan tumbuh menjadi cewek semenarik ini. Ia berjalan bersama dua orang temannya, menertawakan sesuatu. Rosie seakan-akan terlihat berkilau dengan rambut cokelatnya yang bergelombang. Aku melihat wajahnya yang cantik dan sesuatu menegang. Dude, yang benar saja.
Entah apa yang membuat Rosie mendongak. Kami saling bertatapan. Matanya cokelat, sama persis dengan yang selalu kuingat. Kami hanya berpandangan selama beberapa menit sebelum ia kembali tertawa bersama dengan dua orang teman ceweknya.
Tentu saja ia tak lupa. Bagaimana ia bisa lupa?
Bagaimana ia bisa lupa bahwa aku sudah membunuh ayahnya?
No comments:
Post a Comment