Alex
Aku tidak bisa
mengingat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi sepuluh tahun lalu. Rasanya
seperti menderita amnesia. Hanya saja otakku memilih bagian mana yang tidak
ingin kuingat. Aku ingat Rosie dan aku berada di hutan kota. Kami memang sering
berjalan bersama dengan salah satu orang tua kami, melewati jalur setapak. Sore
itu Mr. Witley yang menemani kami. Yang mampu kuingat hanyalah aku membawa batu
besar yang luar biasa berat. Satu hal lain yang bisa kuingat adalah Rosie kecil
yang ketakutan. Yang membuatku heran adalah aku yakin sekali bagian itu terjadi
sebelum aku membawa batu besar.
Aku memikirkannya karena seseorang
melempariku dengan gumpalan foto kopian koran sepuluh tahun yang lalu saat
makan siang. Headline besar berada di
depannya. ANAK LELAKI DELAPAN TAHUN
MEMBUNUH AYAH TEMANNYA. Aku tak perlu pengingat tolol semacam ini. Aku
ingat apa yang sudah kulakukan. Si
pelaku benar-benar bertekad. Mencari koran sepuluh tahun yang lalu pasti
memerlukan usaha yang ekstra.
Sisa hari ini berlangsung dengan
payah. Orang-orang menjauhiku seperti wabah Black Death di kelas Kalkulus. Stuart
yang malang mengompol di celananya saat kelas Kimia. Padahal aku hanya melotot
padanya karena ia salah mengukur takaran asam hipoklorit. Kelas Psikologi
berikutnya juga tak jauh berbeda.
“Seorang antisosial identik dengan tindakan
kriminal, seperti pembunuhan, misalnya.” Mata Mr. Duvall dengan jelas
menatapku. Aku ingin mencongkelnya keluar.
Persetan dengan semua ini. Bagaimana
mereka mengizinkan si tolol ini mengajar Psikologi?
Makan siang juga tak membuatku
gembira. Mereka menyajikan open sandwich,
tetapi itu terlihat seperti sepotong roti tawar dengan muntahan di atasnya. Ini
membuat makanan di juvenile terlihat sangat
menggiurkan. Dan itu bukan pujian. Aku membawa muntahan yang disebut makan
siang ini keluar. Tak ada seorang pun yang mau duduk dengan pembunuh tentu
saja. Aku duduk di meja piknik di bawah pohon willow. Sendirian. Hingga ada orang yang melempariku dengan
gumpalan koran.
Aku menghabiskan makan siangku
sambil menggerutu. Seharusnya hari ini tidak bisa lebih payah, bukan?
Sepertinya aku salah.
Saat aku mengembalikan nampan makan
siang, cowok yang menyiramkan sodanya mengadangku.
“Hei,” ujarnya.
Aku memandangnya balik dengan aura
mengancam.
“Tenang, Dude. Aku minta maaf karena telah menyirammu dengan soda,” kata
cowok itu. Topi baseball bodohnya
masih bertengger di kepalanya.
“Kau mau apa?”
Ia menyodorkan tangannya.
“Aku James,” ujarnya sambil
menyeringai.
Aku meludah ke tanganku dan
menggenggam balik tangannya. James mengernyit, tetapi ia masih berusaha keras
untuk tersenyum.
“Lalu?”
“Yeah, kau tahu aku mengadakan pesta
untuk merayakan tahun ajaran baru Jumat besok. Pestanya bakalan hebat. Aku
mengundang semua orang. Termasuk cewek-cewek cantik, kau tahu maksudku?” Ia
menggaruk-garuk pipinya. “Dan, er, kupikir akan keren kalau kau mau datang.
Maksudku, cewek-cewek itu pasti menganggap, well,
seorang pembunuh misterius sepertimu keren.”
Haha. Aku seharusnya sudah bisa
bercinta di gudang sapu jika ada satu cewek yang menganggap pembunuh misterius
sepertiku keren.
“Jadi?” ujarnya penuh harap.
Aku mengangkat bahu.
“Apa Rosie ikut?”
“Man,
jika aku bilang semua orang diundang, maksudku semua orang pasti akan muncul di sana. Ini sudah menjadi tradisi
kau tahu.”
“Kita lihat saja nanti,” jawabku
singkat.
James menyeringai kembali.
“Keren. Sampai nanti, Webbe! Sekali
lagi, maaf untuk kausmu. Akan kuberi kau kaus baru besok Jumat.”
“Tidak sabar,” gumamku. James
berbalik dan menghampiri teman-temannya. Sekumpulan atlet yang sepertinya
terlewat saat pembagian otak. Mereka terlihat seperti sekumpulan manusia
Neanderthal dengan tubuh gigantis dan dahi yang maju. Beberapa dari mereka
mencuri pandang ke arahku sambil tersenyum tolol.
Aku menghela napas lalu berjalan
menuju kelas Bahasa Inggris Lanjutan.
Rosie sudah menunggu di depan pintu
kelas. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Ia terlihat luar biasa gugup.
“Ha-hai,” katanya. Suaranya begitu
lembut dan menggelitik telingaku. Dadaku berdetak sedikit lebih kencang.
“Oh, hai, bagaimana kau tahu aku
ikut kelas ini?”
“Kau selalu pintar. Kau sudah
membaca buku anak SMA saat kau berumur tujuh tahun.”
Aku tersenyum. Mungkin senyuman
pertama sepanjang hari ini.
“Kau baik-baik saja?” tanyaku.
Rosie hanya mengedikkan bahu.
Bibirnya menyunggingkan senyum pahit.
“Maafkan aku,” kataku.
“Untuk apa?” tanyanya sedikit
gemetar.
“Semuanya. Kesulitan yang
kutimbulkan dalam hidupmu.”
Rosie terperangah. Ia mengecek
arlojinya. Itu suatu bahasa tubuh yang orang gunakan untuk mengakhiri
percakapan dengan orang lain.
“Aku harus bergegas ke kelas
Inggris-ku. Yang biasa saja. Tidak lanjutan sepertimu.” Rosie tertawa hampa. “Sampai nanti.”
Setelah beberapa langkah, aku
memanggil namanya.
Ia berhenti.
“Ya?” balasnya dengan suara merdu.
“Kau datang ke pesta James?”
Rosie menggigit bibirnya.
“Mungkin. Entahlah. Aku tak terlalu suka
keramaian.”
“Apa kau datang jika aku datang?”
Air mukanya berubah menjadi pucat.
“Mungkin.”
Ia kemudian berbalik dan hilang di
balik kerumunan anak-anak lain.
Mungkin bukan ide yang baik. Itu
tadi terdengar seperti ancaman.
No comments:
Post a Comment