Thursday, September 17, 2015

Fallout - Part 1


1
ARES


Tiap orang memiliki momen tertentu ketika ia mulai menyadari bahwa apa yang selama ini mereka percayai, apa yang mereka yakini, apa yang mereka anggap benar ternyata salah, seperti sebuah epifani. Itu yang kusebut dengan sudden realization. Tiap orang pasti pernah mengalaminya, tetapi tidak semua orang menerima sudden realization tersebut dengan baik. Beberapa orang berusaha untuk tidak memedulikannya, beberapa orang berusaha untuk menyangkalnya, beberapa orang berani melepas apa yang mereka percayai dan mulai menerima kebenaran yang baru. Awalnya aku termasuk ke dalam beberapa orang yang menyangkalnya. Sudden realization juga terjadi di saat dan di tempat yang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya. Sudden realization-ku terjadi ketika aku dan Haley bertengkar di depan umum di lapangan parkir Wal-Mart.

            Haley tidak seperti cewek-cewek yang kukencani sebelumnya. Ia bukan seorang cheerleader, seperti yang orang-orang harapkan dari seorang atlet basket sepertiku. Haley seorang yang ambisius, tetapi cantik. Aku tak tahu apakah aku menghubungkan kata “ambisius” dan “cantik” dengan menggunakan kata penghubung yang tepat. Poinnya adalah Haley berbeda.

            Dan aku berharap mengencani gadis yang berbeda akan membuat sedikit perubahan dalam diriku, membuatku lebih yakin bahwa semua ini yang kurasakan hanya fase remaja. Sama seperti jerawat, atau ketika kau memimpikan ibu teman timmu yang luar biasa cantik. Namun, sepertinya aku salah. Apa yang kurasakan ini tampaknya bukanlah sebuah fase. Ini seperti direkatkan dengan Surebonder dan tidak mau lepas.

            Heck, aku bahkan sudah bercumbu dengan Haley berkali-kali.

            Aku tak ingat apa yang kami pertengkarkan sebetulnya. Yang aku ingat hanyalah Haley tiba-tiba menghubungiku untuk menemaninya membeli sesuatujembalang untuk kebun? Atau sisir? Sesuatu yang terdengar seperti itu. Entahlah. Aku hanya menurut saja seperti seekor?seorang?zombie tak berotak. Bahkan ketika aku baru saja selesai memarkirkan Meredith (nama F-150-ku. Don’t judge me. I try to be as straight as possible) di depan Wal-Mart, tiba-tiba saja Haley berteriak dan kata-kata yang berhasil kutangkap adalah, “tidak peduli”, “egois”, dan “megalomania”. Yup, itu Haley yang kukenal: menggunakan kata-kata SAT dengan tepat dan akurat.

            Tapi aku tak mengerti apa masalahnya. Itu sebabnya berpacaran dengan cewek itu lumayan melelahkan dan menguras emosi.

            “Kita putus!” Itu kata-katanya yang terakhir sebelum ia membanting pintu mobilku, merosot turun ke aspal lapangan parkir yang bersalju, dan pergi begitu saja.

            Aku menghela napas. Aku tak tahu apakah ini karena aku putus untuk yang kesekian kalinya sehingga aku tak merasakan apa-apa. Rasanya hampa, seperti menembus wormhole. Namun, berpacaran dengan Haley juga terasa hampa kalau kupikir-pikir. Tiap ciuman yang kami lakukan tidak menciptakan aliran listrik, tiap erangan dan engahan yang kami teriakkan dari kursi belakang setiap Jumat malam terasa seperti erangan basa-basi dari pendukung Detroit Pistons. Itu bukan sesuatu yang membuatmu bergairah. Itu sesuatu yang salah.

            Dan itu sebabnya, saat Haley memutuskanku, aku merasa biasa saja. Justru, aku heran karena tebersit rasa lega dan bebas, seperti saat pertandingan terakhir di musim dingin ini berakhir, seakan-akan akhirnya kau tidak perlu bersandiwara atau berpura-pura lagi.

            Aku bersandar di kursi kemudi sambil mengamati Haley dengan cepat-cepat memasuki Wal-Mart. Rambutnya yang cokelat keriting tertutup salju putih, sementara mantelnya terlihat kebesaran untuk ukuran tubuhnya yang mungil.

            Suara ponsel yang begitu nyaring membuatku terkesiap. Aku pikir itu Haley yang meneleponku dari dalam dan menyesal karena telah memutuskanku dan memintaku kembali. Itu pernah terjadi dua kali sebelumnya dalam hubunganku. Aku tentu saja tidak pernah bisa menolaknya. Aku sedang dalam misi untuk mengubah diriku, meyakinkan diriku bahwa aku tidak salah. Setelah aku melihat siapa yang memanggilku melalui layar ponsel, aku tersenyum.

            Suara tembakan dan deru kendaraan yang memekakkan telinga langsung menghajarku. Aku terpaksa harus menjauhkan telingaku, lalu tiba-tiba saja terdengar teriakan.

            “Ares! Ares! Bung, kau di mana?”

            “Sedang berkencan dengan Fallout?”

            “Apa? Aku tidak dengar!” teriaknya lagi.

            “Kecilkan volume televisimu, keparat!” sahutku.

            Tiba-tiba saja terdengar suara kekehan dari ujung sana.

            “Di mana kau?” tanyanya sekali lagi.

            “Di parkiran Wal-Mart, menangis karena Haley baru saja memutuskanku.”

            “Lagi? Oh, dasar kau kemaluan besar.”

            Ejekan semacam itu yang membuat jantungku sedikit menciut.

            “Kenapa kau telepon?”

            “Nah, mau menyembuhkan luka hati dengan bermain Fallout bersama?”

     “Apa yang menarik dari menontonmu bermain? Aku akan datang kalau kau mengizinkanku main setiap satu misi sekali.”

            Terdengar erangan dari sana.

            “Oke, tapi karena kau baru putus. Aku akan menjadi sahabat yang baik dan benar dan memperbolehkanmu main sampai kau mati.”

            “Keren, aku akan sampai di sana dalam lima belas menit lagi.”

            “Bawakan aku Ranch Melt dari Subway selagi kau ada di sana.”

            “Yea, yea! Tapi aku mendapat sepuluh dolar.”

            “Dasar kau keparat kecil,” gumamnya sebelum akhirnya ia menutup telepon.

            Aku tersenyum lalu menepuk-nepuk kemejaku, sebelum akhirnya aku menyalakan Meredith dan memutar menuju ke Subway yang terletak di ujung pelataran parkir Wal-Mart

            Namanya Castor. Dan ialah alasan kenapa aku mengencani banyak cewek. 



Disclaimer:
Bukan, ini bukan fanfiction dari Fallout yang video game. Fallout di sini lebih di makna yang nomor dua: efek samping dari sesuatu. Udah dari lama kepikiran buat bikin cerita LGBT, tapi baru akhir-akhir ini ada waktu dan niat (wkwk padahal nganggur) buat nyoba-nyoba nulis. Awalnya, saya pengen bikin latarnya di Indonesia, tapi saya takut kalau di Indonesia kalimatnya jadi enggak masuk, soalnya saya udah enggak bisa nulis percakapan bahasa Indonesia yang luwes. Kalau saya bikin latar Indonesia, tapi dialognya terjemahan, pasti kedengaran aneh banget. 

2 comments: